Sebagai negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan yang besar. Untuk mempertahankan potensi ekonomi ini dalam jangka panjang, ekonomi biru diperlukan sebagai konsep dalam menetapkan program pembangunan dan kebijakan publik. Salah satu cara untuk mengimplementasikan konsep tersebut adalah dengan menyusun neraca laut, yang kerangka kerjanya mengimplementasikan konsep ekonomi biru dalam bentuk neraca lingkungan. Neraca laut dapat dianggap mendukung pembentukan kebijakan dan program nasional suatu negara. Oleh karena itu, data spasial yang akurat yang mencerminkan kondisi terkini sangat penting untuk menyusun neraca ini. Namun, pengumpulan data tersebut dapat memakan biaya dan sumber daya yang besar, sehingga menjadi tantangan untuk memastikan ketersediaan informasi yang terkini dan akurat. Dalam konteks ini, sumber data alternatif dapat memberikan solusi yang layak. Penelitian sebelumnya telah berhasil membuktikan bahwa pemodelan pembelajaran mesin juga citra satelit Sentinel-1 dan Sentinel-2 mampu memetakan wilayah pesisir, seperti wilayah pasang surut dan bentik. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengklasifikasikan ekosistem pesisir Taman Nasional Karimunjawa dengan memanfaatkan citra Sentinel-1 dan Sentinel-2 dan membandingkan hasil klasifikasi dari tiga metode pembelajaran mesin, yaitu Random Forest (RF), Support Vector Classification (SVC), dan Extreme Gradient Boosting (XGBoost), dan menganalisis perubahan ekosistem antara tahun 2020 dan 2023. Hasilnya menunjukkan bahwa RF memberikan hasil terbaik dalam melakukan klasifikasi untuk daerah bentik yang mencapai 0,77 dan 0,78 dalam skor F1 dan Koefisien Korelasi Matthew (MCC), sedangkan model SVC berhasil mencapai 0,83 dalam skor F1 dan MCC memberikan hasil terbaik untuk daerah pasang surut. Selanjutnya, luas terumbu karang dan padang lamun menurun masing-masing sebesar 6,524 km 2 dan 1,39 km 2 . Sedangkan, luas mangrove, kawasan terbangun, dan hutan menunjukkan sedikit perubahan.