Al Latifa, Soraya
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Mediasas : Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah

Idah Bagi Suami: Perspektif Qira’ah Mubadalah dan Filsafat Hukum Al Latifa, Soraya; Khatimah, Husnul; Rahim, Raisa
Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah Vol. 7 No. 2 (2024): Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syariah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Publisher : Islamic Family Law Department, STAI Syekh Abdur Rauf Aceh Singkil, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58824/mediasas.v7i2.207

Abstract

A marriage that breaks up because of divorce or one of the couple passes away will cause legal consequences. One of the legal consequences is iddah or waiting period for wife after the husband leaves. The wife must refrain during the iddah period, one of which is not to get married as long as the iddah period has not been completed. And also for the husband is obliged to provide iddah and mut'ah maintenance to the divorced wife. However, husbands may enter into a post-divorce marriage without a waiting period. Of course this is not fair if iddah is borne only by women. Therefore, iddah needs to be read with the concept of mubilah which was coined by Faqihuddin Abdul Kodir and also ethics in legal philosophy. The research method used by the author is library research with a normative approach to syara' propositions. This research is descriptive-analytic in nature by using the theory of mubadalah and ethics in legal philosophy. This research concludes that the concept of iddah in the Qur’an must also be applied by men as legal subjects. Apart from being based on the mutuality and similarities between men and women, in essence, iddah also has wisdom as a period of self-reflection and introspection for men and women so as not to let go of the marriage bond. If iddah is due to one of them passing away, then there is dignity and ethics that must be maintained for the sake of the common good and prioritizing the values and ethics that apply in society rather than personal reason. [Perkawinan yang putus akibat perceraian maupun salah satu pasangan meninggal dunia akan menimbulkan konsekuensi hukum. Salah satunya adalah iddah bagi istri pasca ditinggal suami. Istri harus menahan diri selama masa iddah salah satunya tidak menikah selama belum selesai masa iddah. Pun bagi suami memiliki kewajiban untuk memberi nafkah iddah dan mut’ah kepada istri yang dicerai. Namun, suami boleh melangsungkan perkawinan pasca bercerai tanpa adanya masa tunggu. Tentu hal ini tidak adil jika iddah hanya ditanggung perempuan saja. Oleh karena itu iddah perlu dibaca dengan konsep mubadalah yang dicetuskan oleh Faqihuddin Abdul Kodir dan juga etika dalam filsafat hukum. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan normatif terhadap dalil-dalil syara’. Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis dengan menggunakan teori mubadalah dan etika dalam filsafat hukum. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa konsep iddah yang ada di dalam Al-Quran harus ditafsirkan berlaku juga bagi laki-laki sebagai subjek hukum. Selain mendasarkan pada adanya ketersalingan dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan, hakikatnya iddah juga memiliki hikmah sebagai masa refleksi dan introspeksi diri bagi laki-laki dan perempuan agar tidak jadi melepaskan ikatan perkawinan. Apabila iddah karena salah satu meninggal dunia maka ada marwah dan etika yang harus dijaga demi kemashlahatan bersama dan mengedepankan nilai serta etika yang berlaku di masyarakat daripada kepentingan pribadi].
Tamkin Sempurna as a Condition for Exemption from Obligations Husband to Wife Khatimah, Husnul; Rahim, Raisa; AD, Muhammad Irfan; Al Latifa, Soraya; Shafia, Aqila
Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah Vol. 6 No. 2 (2023): Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syariah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Publisher : Islamic Family Law Department, STAI Syekh Abdur Rauf Aceh Singkil, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58824/mediasas.v6i2.146

Abstract

In Indonesia, the rights and obligations of husband and wife are regulated in Law No.1 of 1974 concerning Marriage and the Compilation of Islamic Law (KHI), but in KHI Article 80 paragraph 5, states that the husband's obligations towards his wife as mentioned in paragraph (4) letters a and b above come into effect after the perfect tamkin of his wife. This statement states that before the perfect tamkin the obligation to provide for a husband can be waived. This study aims to explore the exemption of the husband's obligation to his wife in the presence of Perfect Tamkin. The type of research used is normative research with a normative juridical approach. The results of the discussion of Imam Ash-Shafi'i provide exemption from the obligation of a husband to his wife required in the Perfect Tamkin in two circumstances, namely, the first situation when a man marries a woman who is still small (not yet baligh) / not yet worthy of intercourse. Secondly, the exemption of the obligation to provide maintenance by the husband towards the wife also applies when a wife refuses to be intimate, without reasons such as illness or menstruation, then the husband is exempted from the obligation to provide maintenance until the wife is willing to be intimate again. That way in these two circumstances, according to the view of Imam Asy-Shafi'i, the husband can be relieved of the obligation to provide maintenance for a wife, this is in accordance with Article 80 paragraph (5) KHI. [Di Indonesia hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), namun dalam KHI Pasal 80 ayat 5, menyatakan bahwa Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa sebelum adanya tamkin sempurna kewajiban menfakahi bagi seorang suami dapat dibebaskan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali tentang pembebasan kewajiban suami terhadap istri dengan adanya Tamkin Sempurna. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil Pembahasan Imam Asy-Syafi’i memberikan pembebasan kewajiban seorang suami terhadap istri disyaratkan pada Tamkin Sempurna dalam dua keadaan yaitu, pertama keadaan ketika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan masih kecil (belum baligh)/belum layak digauli. Kedua pembebasan kewajiban membarikan nafkah oleh suami terhadap istri juga berlaku ketika seorang istri yang menolak untuk digauli, tanpa alasan seperti sakit atau sedang haid, maka suami dibebaskan dari kewajiban memberikan nafkah sampai seorang istri mau untuk digauli kembali. Dengan begitu dalam dua keadaan ini menurut pandangan Imam Asy-Syafi’i suami dapat dibebeskan dari kewajiban memberikan nafkah terhadap seorang istri hal ini sesuai dengan Pasal 80 ayat (5) KHI.]