Jurnal Mediasas : Media Ilmu Syari'ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Vol. 7 No. 2 (2024): Jurnal Mediasas: Media Ilmu Syariah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah

Idah Bagi Suami: Perspektif Qira’ah Mubadalah dan Filsafat Hukum

Al Latifa, Soraya (Unknown)
Khatimah, Husnul (Unknown)
Rahim, Raisa (Unknown)



Article Info

Publish Date
08 Dec 2024

Abstract

A marriage that breaks up because of divorce or one of the couple passes away will cause legal consequences. One of the legal consequences is iddah or waiting period for wife after the husband leaves. The wife must refrain during the iddah period, one of which is not to get married as long as the iddah period has not been completed. And also for the husband is obliged to provide iddah and mut'ah maintenance to the divorced wife. However, husbands may enter into a post-divorce marriage without a waiting period. Of course this is not fair if iddah is borne only by women. Therefore, iddah needs to be read with the concept of mubilah which was coined by Faqihuddin Abdul Kodir and also ethics in legal philosophy. The research method used by the author is library research with a normative approach to syara' propositions. This research is descriptive-analytic in nature by using the theory of mubadalah and ethics in legal philosophy. This research concludes that the concept of iddah in the Qur’an must also be applied by men as legal subjects. Apart from being based on the mutuality and similarities between men and women, in essence, iddah also has wisdom as a period of self-reflection and introspection for men and women so as not to let go of the marriage bond. If iddah is due to one of them passing away, then there is dignity and ethics that must be maintained for the sake of the common good and prioritizing the values and ethics that apply in society rather than personal reason. [Perkawinan yang putus akibat perceraian maupun salah satu pasangan meninggal dunia akan menimbulkan konsekuensi hukum. Salah satunya adalah iddah bagi istri pasca ditinggal suami. Istri harus menahan diri selama masa iddah salah satunya tidak menikah selama belum selesai masa iddah. Pun bagi suami memiliki kewajiban untuk memberi nafkah iddah dan mut’ah kepada istri yang dicerai. Namun, suami boleh melangsungkan perkawinan pasca bercerai tanpa adanya masa tunggu. Tentu hal ini tidak adil jika iddah hanya ditanggung perempuan saja. Oleh karena itu iddah perlu dibaca dengan konsep mubadalah yang dicetuskan oleh Faqihuddin Abdul Kodir dan juga etika dalam filsafat hukum. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian pustaka (library research) dengan pendekatan normatif terhadap dalil-dalil syara’. Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis dengan menggunakan teori mubadalah dan etika dalam filsafat hukum. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa konsep iddah yang ada di dalam Al-Quran harus ditafsirkan berlaku juga bagi laki-laki sebagai subjek hukum. Selain mendasarkan pada adanya ketersalingan dan kesamaan antara laki-laki dan perempuan, hakikatnya iddah juga memiliki hikmah sebagai masa refleksi dan introspeksi diri bagi laki-laki dan perempuan agar tidak jadi melepaskan ikatan perkawinan. Apabila iddah karena salah satu meninggal dunia maka ada marwah dan etika yang harus dijaga demi kemashlahatan bersama dan mengedepankan nilai serta etika yang berlaku di masyarakat daripada kepentingan pribadi].

Copyrights © 2024






Journal Info

Abbrev

mediasas

Publisher

Subject

Law, Crime, Criminology & Criminal Justice Social Sciences

Description

Focus Mediasas Journal Media Ilmu Syariah and Ahwal Al-Syakhsiyah provides scientific articles developed in attending to the publication of articles, original research reports, reviews, and scientific commentary on Sharia. Coverage The Mediasas Journal includes research from researchers, academics, ...