Revenge porn, yang merujuk pada penyebaran foto atau video intim tanpa izin dengan maksud balas dendam, sering kali menyebabkan dampak psikologis yang parah bagi korban, termasuk trauma dan risiko bunuh diri. Latar belakang masalah ini menjadi lebih signifikan mengingat tidak adanya regulasi khusus yang mengatur tindakan tersebut, sehingga definisi, bukti, dan sanksi yang ada menjadi lemah dan rentan ditafsirkan secara berbeda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi celah dalam regulasi hukum yang ada, serta memberikan rekomendasi agar perlindungan terhadap korban revenge porn dapat lebih efektif. Metode penelitian yang digunakan mencakup analisis hukum dan survei yang mengumpulkan data dari korban dan praktisi hukum, yang menunjukkan bahwa kasus revenge porn meningkat signifikan selama pandemi, sebagaimana diungkapkan oleh survei CATAHU. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasal-pasal dalam KUHP, ITE, dan Undang-Undang Anti Pornografi tidak memadai dalam menangani kasus revenge porn, dengan berbagai unsur objektif yang belum jelas. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa perlu adanya revisi regulasi untuk memperkuat unsur pidana, pembuktian, dan sanksi yang spesifik terhadap perilaku balas dendam ini. Diharapkan regulasi khusus mengenai kejahatan pornografi balas dendam dapat dibentuk, serta penegakan hukum yang lebih baik melalui edukasi dan kesadaran masyarakat. Penelitian ini juga merekomendasikan perlunya studi perbandingan dengan praktik hukum di negara lain serta peran aktif pihak terkait dalam penegakan hukum.