Pendahuluan: Sehubungan dengan visi pembangunan sektor perikanan tangkap berbasis blue economy, pemerintah mengatur kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Pungutan Hasil Perikanan (PNBP PHP). Berdasarkan PP 85/2021, titik pungutan PNBP PHP tersebut digeser dari yang sebelumnya berada di saat mengajukan perizinan berlayar (PNBP Pra Produksi), menjadi berada di saat mendaratkan ikan hasil tangkapan (PNBP Pasca Produksi). Kebijakan ini merupakan transformasi substansial dalam lanskap kebijakan fiskal di Indonesia dan memicu perdebatan sejak dilaksanakan 1 Januari 2023. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan PNBP Pasca Produksi dengan menggunakan tiga kriteria evaluasi kebijakan dari Dunn, yaitu efektivitas, efisiensi, dan keadilan. Metode: Pendekatan yang digunakan adalah post-positivist dengan teknik pengumpulan data secara kualitatif melalui wawancara mendalam, observasi lapangan, dan studi kepustakaan. Temuan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan PNBP Pasca Produksi memberikan keuntungan bagi wajib bayar dan fiskus karena PNBP dipungut atas berat ikan hasil tangkapan riil, bukan atas perkiraan sebagaimana diatur PNBP Pra Produksi. Namun, secara keseluruhan kebijakan ini belum memenuhi kriteria efektivitas, efisiensi, dan keadilan. Dari kriteria efektivitas, kebijakan ini belum efektif mencapai tujuan yang ditetapkan. Dari kriteria efisiensi, kebijakan ini memberatkan wajib bayar dan fiskus dari segi direct money costs, time costs, maupun psychological costs. Dari kriteria keadilan, kebijakan ini memenuhi benefit receive principle, tetapi indeks tarif belum memenuhi prinsip nondiskriminasi karena adanya pembedaan tarif antar ukuran kapal yang sudah tidak relevan. Untuk dapat mendukung pembangunan sektor perikanan tangkap berbasis blue economy, kebijakan PNBP Pasca Produksi setidaknya harus memenuhi ketiga kriteria tersebut. Kesimpulam: Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan adopsi teknologi di setiap pelabuhan yang dapat memenuhi kriteria efektivitas serta efisiensi kebijakan. Selain itu diperlukan reformulasi indeks tarif agar memenuhi kriteria keadilan.