Artikel ini akan mengkaji tentang perdebatan mengenai kesamaan atau perbedaan antara bunga bank dan riba yang telah menghiasi wacana pemikiran Islam. Biasanya, perdebatan tersebut berujung pada masalah hukum fiqh, antara halal atau haram. Hal yang mungkin luput dari perhatian banyak orang adalah konteks penggunaan kata riba dan bunga bisa berbeda-beda. Konsekuensi dari konteks penggunaan bahasa yang berbeda akan menyebabkan makna yang berbeda pula. Masalah inilah yang kemudian akan penulis cermati dengan menggunakan analisa language gamesyang diletakkan dalam konteks agama dan ekonomi. Tujuan tulisan ini adalah untuk menemukan tentang adanya interkoneksitas yang bisa saling mempengaruhi makna bahasa di luar konteks penggunaannya, terutama berkaitan dengan makna literal, semantik dan substansial. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai “permainan bahasa†yang dimaksudkan Wittgenstein, sehingga bisa diterapkan sebagai alat bedah filsafat bahasa dalam menganalisa kata riba dan bunga. Bagian berikutnya akan dibahas kata riba dan bunga dalam konteks agama dan ekonomi secara terpisah. Adapun hasil dari artikel ini adalah bahwa Riba dan bunga dalam ekonomi Islam dianggap bermakna sama. Hal tersebut terjadi karena dalam ekonomi Islam, tidak ada pemisahan antara konteks agama dan konteks ekonomi. Dalam kehidupan Muslim, seringkali terjadi intervensi antar konteks dan antar aturan permainan. Hal ini berarti, ada keterkaitan lintas konteks yang bisa saling mempengaruhi makna bahasa. Hal ini lebih dari sekedar apa yang telah disampaikan dalam teori ‘permainan bahasa’ Wittgenstein. Tampaknya, riba dan bunga bisa digunakan pula sebagai teknik pemasaran untuk mempromosikan produk-produk perbankan syariah “tanpa riba atau tanpa bungaâ€, seperti halnya banyak produk makanan yang dipromosikan dengan slogan “sugar freeâ€, tanpa bahan pengawet dan semacamnya. Padahal, makna substansial riba melebihi dari sekedar larangan mempraktekkannya, tapi justru mendorong Muslim untuk berbuat lebih dari sekedar menghindarinya, yaitu mewujudkan keadilan, kesejahteraan, pemerataan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Jika demikian, mungkin sekarang ini, slogan bebas riba dan bunga tampaknya masih dalam tataran permainan bahasa marketing, baik itu sifatnya keagamaan atau maksud-maksud ekonomi lainnya.Â