Tulisan ini memebahas tentang larangan menjadikan sebagai sumber penhasilan, al-Qur’an tidak hanya sebagai ladang dakwah, lebih dari itu mereka menyisipkan niat untuk mencari uang bahkan ladang bisnis dengan mematok tarif-tarif ataupun upah dari hasil mereka membaca al-Qur’an baik melalui khataman maupun dalam bentuk haflah tilawah al-Qur’an, hingga tatkala bisyaroh yang mereka dapatkan tidak sesuai ekspetasi mereka cenderung mengungkit kembali apa yang telah mereka lakukan. Berbeda dengan masa para ulama salaf yang mengajarkan al-Qur’an merupakan sebuah kewajiban bagi mereka tanpa mengharapkan sesuatu apapun dari manusia dan hanya mengharapkan ridho Allah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. yang mana di dalamnya terdapat terdapat proses pengumpulan data di berbagai sumber seperti kitab dan buku-buku yang relafan dengan penelitian, kemudia di komparasikan dengan keadaan masa kini. Hasil peneliian menunjukan bahwa para ulama berbeda dalam menentukan hukum menerima dan memberi upah terhadap para pengajar al-Qur’an, mulai ada yang membolehkannya secara mutlak hingga mengharamkannya secara mutlak dan adapula yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Hukum kebolehan mengambil upah dari mengajarkan al-Qur’an ada yang membolehkan secara mutlak sebagaimana madzhab imam Syafi’i dan Maliki dan ada juga yang haramkannya secara mutlak seperti madzhab imam Hanafi serta ada pula yang membolehkan dengan syarat harus adanya kebutuhan terhadapnya. Imam Nawawi dalam kitabnya al-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an yang cenderung menghimbau para hamil al-Qur’an agar senantiasa memurnikan niat semata-mata karena Allah ta’ala kendatipun beliau tidak memberikan penegasan mengenai hukum bagi dia yang menjadikan al-Qur’an sebagai sumber penghasilan.