Pesatnya kemajuan teknologi komunikasi digital telah mengubah secara fundamental cara masyarakat Indonesia berinteraksi, mengekspresikan keagamaan, dan membentuk opini publik. TikTok, dengan karakteristik audiovisual dan algoritmiknya, kini berfungsi sebagai ruang publik digital tempat wacana keagamaan diproduksi, dipertukarkan, dan dinegosiasikan secara terbuka. Penelitian ini bertujuan menganalisis konstruksi wacana publik yang muncul melalui video viral robohnya Pondok Pesantren Al-Khosini di Sidoarjo pada bulan September tahun 2025, serta menelaah bagaimana peristiwa tersebut mencerminkan transformasi sosial dan religius dalam ekosistem digital. Dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dan pendekatan Critical Discourse Analysis (Fairclough), penelitian ini menganalisis sepuluh video TikTok, terdiri atas empat video unggahan resmi akun pondok dan enam video dari akun luar, termasuk media arus utama seperti CNN Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa video viral tersebut tidak hanya berfungsi sebagai dokumentasi peristiwa, tetapi juga menjadi arena kontestasi makna antara ekspresi kesalehan, kritik sosial, dan representasi moralitas publik. TikTok berperan sebagai “mimbar digital” yang memediasi dialektika antara otoritas keagamaan tradisional dan partisipasi publik yang emosional. Lebih jauh, algoritma platform bertindak sebagai agen ideologis yang memperkuat narasi populis dan emosional, sambil menggeser ruang refleksi keagamaan yang mendalam. Kontribusi teoretis penelitian ini terletak pada pemahaman bahwa kesakralan agama di era digital tidak memudar, melainkan bertransformasi menjadi kesucian partisipatif yang dimediasi oleh teknologi, afeksi kolektif, dan dinamika algoritmik masyarakat modern. The rapid advancement of digital communication technology has fundamentally changed the way Indonesians interact, express their religiosity, and shape public opinion. TikTok, with its audiovisual and algorithmic features, now functions as a digital public space where religious discourse is openly produced, exchanged, and negotiated. This study aims to analyse the construction of public discourse that emerged from viral videos of the collapse of the Al-Khosini Islamic boarding school in Sidoarjo in September 2025, and to examine how this event reflects social and religious transformations in the digital ecosystem. Using descriptive qualitative methods and a Critical Discourse Analysis (Fairclough) approach, this study analyses 10 TikTok videos, comprising four officially uploaded by the boarding school’s account and six from external accounts, including mainstream media such as CNN Indonesia. The results of the analysis show that these viral videos not only serve as documentation of events but also become arenas for contesting meanings among expressions of piety, social criticism, and representations of public morality. TikTok acts as a “digital pulpit” that mediates the dialectic between traditional religious authority and emotional public participation. Furthermore, the platform’s algorithm serves as an ideological agent, reinforcing populist and emotional narratives while narrowing the space for deep religious reflection. The theoretical contribution of this research lies in the understanding that the sacredness of religion in the digital age has not faded, but instead transformed into participatory sanctity mediated by technology, collective affection, and the algorithmic dynamics of modern society.