Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Angka Mortalitas pasien Neonatus yang Menjalani Operasi berdasar atas Kenaikan Berat Badan Pascaoperasi yang Dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Komara, Asep Deden; Oktaliansah, Ezra; Rismawan, Budiana
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.698 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1112

Abstract

Salah satu faktor risiko mortalitas pada neonatus yang menjalani operasi adalah regulasi cairan intraoperatif. Tujuan penelitian ini mengetahui angka mortalitas pada neonatus yang menjalani operasi berdasar atas kenaikan berat badan pascaoperasi yang dirawat di NICU. Metode penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Penelitian ini melibatkan 95 subjek penelitian, yaitu neonatus yang menjalani operasi dan dirawat di NICU RSHS Bandung selama tahun 2010‒2015. Data diambil dari rekam medis, pengambilan data mulai tanggal 1 Februari–29 Maret 2017.  Subjek dibagi tiga kelompok, yaitu neonatus yang telah menjalani prosedur operasi yang mengalami kenaikan berat badan pascaoperasi kurang 10% (I), neonatus yang menjalani prosedur operasi yang mengalami kenaikan berat badan 10‒20% (II), dan kelebihan berat badan ≥20% (III). Neonatus pacaoperasi dengan kenaikan berat badan  ≤10% sebanyak  46 pasien dan yang meninggal  sebanyak 10 pasien pada  kenaikan  berat badan 10‒20%  sebanyak 38 pasien, pasien yang meninggal sebanyak 23 pasien, angka mortalitasnya sebesar 60,5%, sedangkan  pada pasien dengan kenaikan berat badan sama dengan atau lebih dari 20% sebanyak 11 pasien atau 11,5% yang meninggal  sebanyak 10 pasien, angka mortalitasnya sebesar 90,9%. Simpulan angka mortalitas pasien neonatus yang menjalani operasi di RSHS dan pascaoperasi dirawat di NICU RSHS selama periode 2010–2015 adalah 45,3%. Kata kunci: Kenaikan berat badan, mortalitas, neonatus The Mortality Rate in Neonatal Patients which Underwent Surgical Procedures-Defined by the Escalation of Postoperative Weight and Those Who were Admitted in Neonatal Intensive Care Unit (NICU) One of the risk factors contributed to this number was the inappropriate management of intraoperative fluid resuscitation. The aim of this study is to understand the mortality rate in neonatal patients which underwent surgical procedures–defined by the escalation of postoperative weight and those who were admitted in NICU. The research method used in this study was a retrospective approach presented in a descriptive manner. The study involved 95 research subjects, which were neonatal patients which underwent surgical procedures and admitted in NICU RSHS Bandung from 2010‒2015. Data collection from Februari 1st–March 29th  2017. The research subjects were classified into three groups, neonatal patients which had escalation of weight postoperative less than 10% and underwent surgical procedure (I), neonatal patients which had escalation of weight postoperative ranging from 10‒20% and underwent surgical procedure (II), meanwhile consist of neonatal patients which had escalation of weight postoperative ≥20% and underwent surgical procedure (III). Result of the study showed there were 46 neonatal patients with 10% weight escalation and 10 out of 46 patients were ceased, meanwhile there were 38 neonatal patients with 10‒20% weight escalation and 23 out of 38 were ceased, and there were 11 neonatal patients with ≥20% weight escalation and 10 out of 11 were ceased. The conclusions of this study found a mortality rate of neonatal patients who underwent surgery and postoperative treated in  NICU RSHS during the period 2010 to 2015 is 45.3%. Key words: Weight gain, mortality, neonatal
Anaesthetic Management for a Patient with Uterine Perforation Due to Gestational Trophoblastic Disease with Hyperthyroidism wullur, caroline; Rismawan, Budiana
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 33 No 2 (2015): Juni
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gestational trophoblastic disease originates from abnormal proliferation of molar tissue and most of them are not complicated. However, life threatening condition such as hyperthyroidism may occur. Often, the diagnosis of hyperthyroid state is a retrospective one, as it can be missed in the emergency scenario of patient requiring molar evacuation. Trophoblastic hyperthyroidism poses a multiple of challenges to the anaesthesiologist. High output cardiac failure secondary to thyrotoxicosis, thyroid storm, hypertension and disseminated intravascular coagulation may occur in the perioperative period. We report a successful anaesthetic management of a patient with gestational trophoblastic disease with manifestations of hyperthyroidism whom underwent a trans-abdominal hysterectomy.
Perbandingan Angka Kejadian Batuk Pascabronkoskopi pada Kelompok Premedikasi Kombinasi Kodein 10 mg dan Klorfeniramin Maleat 4 mg dengan Premedikasi Tunggal Kodein 10 mg Saputra, Maulidar; Zulfariansyah, Ardi; Rismawan, Budiana
Majalah Kedokteran Bandung Vol 50, No 4 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15395/mkb.v50n4.1512

Abstract

Bronkoskopi merupakan tindakan esensial dalam penegakan diagnosis maupun terapetik pada saluran pernapasan. Beberapa penelitian menunjukkan kejadian batuk yang tinggi baik selama tindakan maupun setelah bronkoskopi. Saat ini belum ada konsensus tentang pemberian premedikasi yang optimal mengurangi kejadian batuk pada pasien yang menjalani bronkoskopi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan efektivitas pemberian premedikasi kodein dengan kombinasi kodein-klorfeniramin maleat (CTM) dalam mengurangi batuk setelah bronkoskopi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan secara prospektif terhadap 52 subjek penelitian yang menjalani bronkoskopi di Rumah Sakit Paru Rotinsulu pada bulan Desember 2017–Februari 2018. Pada penelitian ini data numerik diuji dengan uji t tidak berpasangan, untuk data kategorik diuji dengan uji chi-square. Hasil penelitian ini didapatkan angka kejadian batuk pascabronkoskopi pada kelompok pasien yang diberikan premedikasi dengan kombinasi kodein 10 mg dan CTM 4 mg lebih rendah dibanding dengan kelompok yang diberikan premedikasi tunggal dengan kodein 10 mg pada semua pengukuran dengan perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah pemberian premedikasi dengan kombinasi kodein 10 mg dan CTM 4 mg lebih efektif menurunkan kejadian batuk pascabronkoskopi dibanding dengan premedikasi tunggal Kodein 10 mg.Kata kunci: Batuk pascabronkoskopi, premedikasi kodein, premedikasi kodein-CTM Comparison of Postbronchoscopic Cough Incidence betweeb Patients Premedicated with 10 mg Codeine  and 4 mg Chlorpheniramine Maleate Combination and premedicated with 10 mg Codeine OnlyBronchoscopy is an essential airway procedure for diagnostic and therapeutic purposes that could cause discomfort and complications. Some studies have shown that cough complaint is often made during and after the procedure. There is no consensus that explains how to optimally premedicate a patient to reduce cough. The objective of this study was to understand the difference in the effectiveness of codeine and codeine and chlorpheniramine maleat (CTM) combination as a premedication to prevent coughing after bronchoscopy. This was a double blind, prospective experimental study in Rotinsulu Pulmonary Hospital from December 2017 to February 2018. Fifty two patients who were undergoing bronchoscopy under general anesthesia were randomly allocated to codeine group (n=26) and  Codeine-CTM Group (n=26). It was showed that the incidence of cough after bronchoscopy in the group using combination of 10 mg Codeine and 4 mg CTM premedication was lower than in the group with 10 mg Codeine premedication in all measurements. Therefore, premedication using 10 mg codeine and 4 mg CTM combination is more effective to reduce the incidence of cough after bronchoscopy when compared to the single premedication with codeine 10 mg.Key words: Postbronchoscopic cough, premedication with codeine, premedication with codeine-CTM
Angka Mortalitas pasien Neonatus yang Menjalani Operasi berdasar atas Kenaikan Berat Badan Pascaoperasi yang Dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Asep Deden Komara; Ezra Oktaliansah; Budiana Rismawan
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.698 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1112

Abstract

Salah satu faktor risiko mortalitas pada neonatus yang menjalani operasi adalah regulasi cairan intraoperatif. Tujuan penelitian ini mengetahui angka mortalitas pada neonatus yang menjalani operasi berdasar atas kenaikan berat badan pascaoperasi yang dirawat di NICU. Metode penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Penelitian ini melibatkan 95 subjek penelitian, yaitu neonatus yang menjalani operasi dan dirawat di NICU RSHS Bandung selama tahun 2010‒2015. Data diambil dari rekam medis, pengambilan data mulai tanggal 1 Februari–29 Maret 2017.  Subjek dibagi tiga kelompok, yaitu neonatus yang telah menjalani prosedur operasi yang mengalami kenaikan berat badan pascaoperasi kurang 10% (I), neonatus yang menjalani prosedur operasi yang mengalami kenaikan berat badan 10‒20% (II), dan kelebihan berat badan ≥20% (III). Neonatus pacaoperasi dengan kenaikan berat badan  ≤10% sebanyak  46 pasien dan yang meninggal  sebanyak 10 pasien pada  kenaikan  berat badan 10‒20%  sebanyak 38 pasien, pasien yang meninggal sebanyak 23 pasien, angka mortalitasnya sebesar 60,5%, sedangkan  pada pasien dengan kenaikan berat badan sama dengan atau lebih dari 20% sebanyak 11 pasien atau 11,5% yang meninggal  sebanyak 10 pasien, angka mortalitasnya sebesar 90,9%. Simpulan angka mortalitas pasien neonatus yang menjalani operasi di RSHS dan pascaoperasi dirawat di NICU RSHS selama periode 2010–2015 adalah 45,3%. Kata kunci: Kenaikan berat badan, mortalitas, neonatus The Mortality Rate in Neonatal Patients which Underwent Surgical Procedures-Defined by the Escalation of Postoperative Weight and Those Who were Admitted in Neonatal Intensive Care Unit (NICU) One of the risk factors contributed to this number was the inappropriate management of intraoperative fluid resuscitation. The aim of this study is to understand the mortality rate in neonatal patients which underwent surgical procedures–defined by the escalation of postoperative weight and those who were admitted in NICU. The research method used in this study was a retrospective approach presented in a descriptive manner. The study involved 95 research subjects, which were neonatal patients which underwent surgical procedures and admitted in NICU RSHS Bandung from 2010‒2015. Data collection from Februari 1st–March 29th  2017. The research subjects were classified into three groups, neonatal patients which had escalation of weight postoperative less than 10% and underwent surgical procedure (I), neonatal patients which had escalation of weight postoperative ranging from 10‒20% and underwent surgical procedure (II), meanwhile consist of neonatal patients which had escalation of weight postoperative ≥20% and underwent surgical procedure (III). Result of the study showed there were 46 neonatal patients with 10% weight escalation and 10 out of 46 patients were ceased, meanwhile there were 38 neonatal patients with 10‒20% weight escalation and 23 out of 38 were ceased, and there were 11 neonatal patients with ≥20% weight escalation and 10 out of 11 were ceased. The conclusions of this study found a mortality rate of neonatal patients who underwent surgery and postoperative treated in  NICU RSHS during the period 2010 to 2015 is 45.3%. Key words: Weight gain, mortality, neonatal
Perbandingan Letak Garis Interkrista Iliaka terhadap Vertebra antara Gravida dan Non Gravida dengan Teknik Pencitraan Ultrasonografi Ni Wayan Pratiwi Wijaya; Budiana Rismawan; M. Andy Prihartono
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.358 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1582

Abstract

Teknik blokade neuroaksial merupakan teknik anestesi yang sering digunakan untuk memfasilitasi tindakan sectio caesaria. Teknik anestesi ini membutuhkan penanda anatomis yang salah satunya adalah garis interkrista iliaka atau garis Tuffier’s yang didefinisikan sebagai garis bayang horizontal yang menghubungkan bagian superior dari kedua krista iliaka. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan letak garis interkrista iliaka terhadap vertebra antara gravida dan nongravida dengan teknik pencitraan ultrasonografi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental pada 30 subjek penelitian yang dilakukan pada bulan Mei–Juli 2018 yang menjalani operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Secara palpasi ditentukan letak perpotongan garis interkrista iliaka dengan prosesus transversum, kemudian dilakukan identifikasi menggunakan ultrasonografi. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji Mann Whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa garis interkrista iliaka pada gravida terletak lebih tinggi, yaitu pada L3-4 jika dibanding dengan nongravida yang terletak pada L4-5 dengan perbedaan signifikan (p˂0,05). Pada gravida bertambah berat badan saat hamil mengakibatkan bertambah body mass index (BMI), pembesaran uterus pada kehamilan akan memengaruhi bentuk tubuh dan kelengkungan tulang belakang (hiperlordosis) sehingga terletak lebih ke arah cefalad. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa letak garis interkrista iliaka pada vertebra gravida lebih tinggi dibanding dengan vertebra nongravida yang diproyeksikan dengan teknik ultrasonografi.Comparison of Intercristal Line Position to the Vertebra between Pregnant and Non-Pregnant Women using Ultrasonography Imaging Anesthesia using neuraxial blockade technique can be used to facilitate cesarean sections in pregnant patients. This technique of anesthesia requires an anatomical marker, one of which is the intercristal line or Tuffier’s line, defined as an imaginary horizontal line connecting the superior parts of both iliac crests. This study aims to compare the position of intercristal line to the vertebra in pregnant and non-pregnant women using ultrasonography imaging. This study was an experimental study on 30 research subjects who underwent surgery in Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, during the period of May until July 2018. The location of the intersection between the intercristal line and the transversal process was identified using ultrasonography. Data were then analyzed statistically using Mann Whitney test. Results of the study showed that the intercristal line in pregnant women was located higher, on L3-4, when compared to non-pregnant women, on L4-5, and the difference was significant (p<0.05). In pregnant women, the weight increase contributes to an increase in BMI while the enlarging uterus affects body shape and vertebral arch (hyperlordosis), making it more cephalad. Therefore, the location of the intercristal line required for neuraxial blockade on the vertebra of pregnant women is higher compared to non-pregnant women, as projected through ultrasonography.
Perbandingan Tramadol dengan Lidokain untuk Mengurangi Derajat Nyeri Penyuntikan Propofol Oka Endarto; Ruli Herman Sitanggang; Budiana Rismawan
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1216.221 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n2.1740

Abstract

Propofol adalah obat anestesi intravena yang sering digunakan untuk tidakan medis karena memiliki onset dan durasi cepat. Nyeri saat penyuntikan propofol merupakan permasalahan yang sering dikeluhkan pasien dan berbagai metode telah dilakukan untuk mengurangi derajat nyeri penyuntikan propofol, namun masih didapatkan nyeri. Lidokain menjadi standar emas untuk mengurangi derajat nyeri penyuntikan propofol, tetapi masih memiliki efek samping seperti penekanan fungsi jantung sehingga dipilih tramadol yang tidak menekan fungsi jantung dan dapat menurunkan kebutuhan obat antinyeri selama maupun setelah operasi. Penelitian ini bertujuan membandingkan pemberian tramadol dengan lidokain untuk mengurangi derajat nyeri penyuntikan propofol. Metode penelitian menggunakan uji klinis acak buta tunggal terhadap 60 pasien yang menjalani operasi elektif. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu perlakuan tramadol (kelompok T) dan perlakuan lidokain (kelompok L) disertai pembendungan vena permukaan menggunakan tourniquet, kemudian diberikan tramadol atau lidokain. Setelah 1 menit tourniquet dilepaskan dan diikuti dengan penyuntikan ¼ dosis total propofol untuk induksi selama 5 detik, lalu dilakukan penilaian derajat nyeri menggunakan verbal rating score. Hasil penelitian menunjukkan penurunan derajat nyeri penyuntikan propofol pada kedua kelompok dan tidak terdapat perbedaan bermakna  (p>0,05), namun melalui uji statistik dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% menyatakan tramadol memiliki risiko relatif kemungkinan terjadi nyeri ringan lebih kecil dibanding dengan lidokain menurunkan derajat nyeri penyuntikan propofol. Simpulan, Tramadol memiliki kekuatan yang sama dengan lidokain dalam menurunkan derajat nyeri penyuntikan propofol.Comparison between Tramadol and Lidocaine in Reducing Pain Triggered by Propofol InjectionPropofol is a commonly used intravenous anesthetics in medical procedure. Pain during propofol injection is a commonly reported adverse effect of this injection. Various methods have been proposed to reduce pain but often fail. Lidocaine is the gold standard for reducing pain during injection of propofol but has a suppressive effect on the heart. Tramadol does not have a suppressive effect and reduce the need for anti-pain medication during and after surgery thereforeTramadol is chosen for this purpose. This study aimed to compare the administration of tramadol and lidocaine to reduce the level of pain during propofol injection. This was a single blind randomized clinical trial on 60 patients underwent elective surgery. Patients were divided into 2 groups: the first group received tramadol (group T) and the second group received lidocaine (group L). Tourniquet was used on each patient before injection of tramadol or lidocaine was given and it was removed after 1 minute. Pain severity was assessed 5 seconds after propofol injection using the verbal rating score. This study discovered that pain during propofol injection was reduced with the use of tramadol and lidocaine without significant difference between the two (p>0.05). However, tramadol has a lower probability of mild pain than lidocaine with interval confidence 95%. In conclusion, tramadol has the same potential as lidocaine in reducing the level of pain related to propofol injection. 
Kejadian Nyeri Kronis dan Kualitas Hidup Pascaoperasi Jantung Terbuka di Rumah Sakit DR. HAsan Sadikin Bandung Periode Januari 2019-Desember 2019 Andri Febriyanto Eka Putra; Budiana Rismawan; Ardi Zulfariansyah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 10, No 3 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v10n3.2607

Abstract

Operasi merupakan salah satu penyebab tersering nyeri kronis, salah satu operasi yang paling sering menimbulkan nyeri kronis pascaoperasi adalah tindakan operasi di regio jantung (sebesar 55%). Nyeri kronis pascaoperasi dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental dan menurunnya kualitas hidup yang signifikan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui angka kejadian nyeri kronis dan kualitas hidup pascaoperasi jantung terbuka di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan melakukan studi potong lintang melalui pengisian kuesioner yang dilakukan melalui wawancara jarak jauh dengan telepon terhadap pasien pascaoperasi jantung terbuka di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari sampai Desember 2019. Hasil penelitian menyatakan angka kejadian nyeri kronis pascaoperasi jantung terbuka di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung masih tinggi 78% (45 dari 58 orang) dengan nyeri intensitas ringan sebanyak 31 orang dan intensitas sedang sebanyak 14 orang, sedangkan kualitas hidup pasien pascaoperasi jantung terbuka pada 58 pasien secara keseluruhan baik. Skor SF-36 pada kelompok yang tidak mengalami nyeri kronis lebih tinggi dibanding dengan kelompok yang mengalami nyeri kronis, skor SF-36 pada kelompok yang mengalami nyeri intensitas ringan lebih tinggi dibanding dengan kelompok nyeri intensitas sedang. Simpulan penelitian ini adalah angka kejadian nyeri kronis pascaoperasi jantung terbuka di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Januari sampai dengan Desember 2019 masih tinggi, namun memiliki kualitas hidup yang baik. Chronic Pain and Quality of Life Post Open Heart Surgery at Dr. Hasan Sadikin, General Hospital Bandung in January–December 2019Surgery is one of the most common causes of chronic pain, one of the operations that most often causes postoperative chronic pain is surgery in the heart region (55%). Postoperative chronic pain can lead to mental health problems and significantly reduced quality of life. This study aimed to determine the incidence of chronic pain and quality of life after open heart surgery at Dr. Hasan Sadikin, General Hospital Bandung. This descriptive study is conducting a cross-sectional study by filling out questionnaires through long-distance telephone interviews with patients after open heart surgery at Dr. Hasan Sadikin, General Hospital Bandung from January to December 2019. The study results stated that the incidence of chronic pain after open heart surgery at Dr. Hasan Sadikin Bandung was still high at 78% (45 out of 58 people), with mild-intensity pain in 31 people and moderate intensity in 14 people. At the same time, the overall quality of life for patients after open heart surgery in 58 patients was good. The SF-36 score in the group that did not experience chronic pain was higher than in the group that experienced chronic pain. The SF-36 score in the group that experienced mild-intensity pain was higher than the moderate-intensity pain group. This study concludes that the incidence of chronic pain after open heart surgery at Dr. Hasan Sadikin Bandung from January to December 2019 is still high; however, it has a good quality of life.
GAMBARAN SKORING STS DAN EUROSCORE II SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITAS PADA PASIEN BEDAH PINTAS ARTERI KORONER DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE 2019–2020 Lusy Octavia Saputri; Rudi Kurniadi Kadarsah; Budiana Rismawan
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 10, No 3 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v10n3.2644

Abstract

Bedah pintas arteri koroner (BPAK) merupakan suatu prosedur pembedahan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Skoring risiko seperti Society of Thoracic Surgeons (STS) dan European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE) banyak digunakan untuk memprediksi hasil luaran pascaoperasi jantung. Operasi jantung di RSUP Hasan Sadikin Bandung setiap tahun terus mengalami peningkatan dan masih terdapat mortalitas setiap tahun, sedangkan belum ada skoring resmi yang digunakan untuk memprediksi kejadian mortalitas maupun morbiditas pada pasien yang menjalani operasi bedah jantung di RSUP Hasan Sadikin Bandung saat ini. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien yang menjalani BPAK di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dari periode januari 2019 sampai desember 2020, sebanyak 82 data rekam medis dilakukan perhitungan STS skor, EuroSCORE II, dan kejadian mortalitasnya. Pada penelitian ini didapatkan hasil STS Skor dan EuroSCORE risiko rendah sebanyak 69 pasien (84%), risiko sedang 11 pasien (14%), dan risiko tinggi 2 pasien (2%). Angka mortalitas BPAK sebanyak 9 orang (11%) dengan stratifikasi skor terhadap mortalitas pada kelompok risiko rendah sebesar 0%, risiko sedang sebesar 7 dari 11 orang dan risiko tinggi 2 dari 2 orang. Hasil yang didapatkan baik pada STS skor maupun EuroSCORE II menunjukkan tingkat kesamaan prediksi yang sama. Profile of STS and EuroSCORE II Scoring as Mortality Predictor in Coronary Artery Bypass Surgery Patients at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, 2019–2020Coronary artery bypass graft surgery (CABG) is used to treat coronary artery disease patients. Risk scoring, such as the Society of Thoracic Surgeons (STS) and the European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE), have been commonly used to predict post-cardiac surgery outcomes. The number of cardiac surgeries at Dr. Hasan Sadikin General Hospital increases yearly, yet some mortalities persist. No official scoring system can be used to predict the mortality and morbidity incident in patients undergoing cardiac surgeries at Dr. Hasan Sadikin General Hospital. This study was a descriptive study with a retrospective approach using patients' medical record data who underwent Coronary artery bypass graft surgery at Dr. Hasan Sadikin Hospital from January 2019 to December 2020. The 82 medical record data were used to assess STS, EuroSCORE II, and mortality incidents. The result showed that STS score and EuroSCORE II with low risk were 69 patients (84%), moderate risk were 11 patients (14%), and high risk were two patients (2%). The number of CABG mortality was nine patients (11%), with a stratification score of mortality in the low-risk group was 0%, the moderate-risk group was seven people, and the high-risk group was 2 out of 2 patients. Both STS and EuroSCORE II showed similar results of prediction. 
¬¬Perbandingan Efek Pemberian Deksmedetomidin 0,5 µg/kgBB Intravena dengan Fentanil 2 µg/kgBB Intravena Terhadap Respons Perubahan Tekanan Darah dan Laju Nadi Selama Tindakan Laringoskopi dan Intubasi Endotrakeal Tia Astriana; Budiana Rismawan; Ardi Zulfariansyah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 11, No 3 (2023)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v11n3.3629

Abstract

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat menyebabkan hipertensi dan takikardia yang berbahaya bagi penderita dengan faktor risiko kelainan serebrovaskular, kardiovaskular, dan tirotoksikosis. Tujuan penelitian ini membandingkan efektivitas dosis bolus deksmedetomidin dan fentanil dalam melemahkan hemodinamik respons stres setelah laringoskopi dan intubasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan double blind randomized controlled trial yang dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung (RSHS) sejak tanggal 1 April 2023 hingga 31 Mei 2023. Penelitian ini melibatkan 42 pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok D menerima 0,5 µg/kgBB deksmedetomidin dan kelompok F menerima fentanil 2 µg/kgBB sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Pengamatan dilakukan pada tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, mean arterial pressure, dan laju nadi sesaat setelah tindakan intubasi dilanjutkan tiap menit hingga 5 menit setelah tindakan intubasi. Hasil menunjukkan bahwa perubahan tekanan darah sistole, diastole, MAP, dan laju nadi antara kelompol deksmedetomidin dan kelompok fentanil tidak terdapat perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan, pemberian deksmedetomidin menghasilkan respons perubahan tekanan darah dan laju nadi yang sebanding dengan pemberian fentanil.
PERBANDINGAN NEBULISASI PREOPERASI LIDOKAIN DENGAN KOMBINASI LIDOKAIN DAN BUDESONID TERHADAP SKALA NYERI TENGGOROK PASCAOPERASI AKIBAT INTUBASI ENDOTRAKEAL PADA PASIEN YANG DILAKUKAN ANESTESI UMUM Arifin, Ilman Hakim; Rismawan, Budiana; Zulfariansyah, Ardi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 3 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n3.3962

Abstract

Komplikasi intubasi dengan pipa endotrakeal (ETT) yang paling sering adalah nyeri tenggorok pascaoperasi/postoperative sore throat (POST). Insidensi POST berkisar 14,4%−50%. Penggunaan metode farmakologi terbukti menurunkan angka kejadian POST melalui efek analgesia dan anti-inflamasi. Salah satu obat yang sering digunakan untuk pencegahan POST adalah nebulisasi lidokain. Nebulisasi steroid juga efektif karena dapat mengurangi inflamasi, edema, transudasi cairan, dan juga derajat nyeri. Penelitian ini membandingkan antara nebulisasi preoperasi dengan lidokain dan nebulisasi preoperasi dengan lidokain dengan budesonide. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung antara bulan Oktober–Desember 2023 yang menggunakan analitik komparatif eksperimental, dengan rancangan double blind randomized controlled trial terhadap dua kelompok penelitian. pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara consecutive sampling. Data dianalisis menggunakan uji Mann Whitney dan normalitas data menggunakan Uji Shapiro wilk. Hasil penelitian karakteristik umum subjek penelitian didapatkan data terdistribusi normal. Pada Jam ke-1, 2, 4 didapatkan skala nyeri tenggorokan antara kelompok lidokain dan lidokain+budesonide p>0,05 atau tidak signifikan, pada jam ke-6, 12, 24 skala nyeri tenggorokan antara kelompok lidokain dan lidokain+budesonide p<0,05 atau signifikan. Simpulan yang didapatkan adalah skala nyeri tenggorok pascaoperasi pada pemberian nebulisasi lidokain dan budesonid preoperasi lebih kecil dibanding dengan nebulisasi lidokain saja.