ABSTRAKKelebihan kapasitas narapidana (prison overcapacity) pada lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan per tahun 2025, dengan presentase hunian mencapai 188% dari kapasitas ideal. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada efektivitas pembinaan narapidana, tetapi juga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Artikel ini mengkaji secara yuridis pengaturan sanksi tindakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional sebagai alternatif pemidanaan yang lebih humanis dan rehabilitatif. Melalui pendekatan normatif dan perbandingan dengan sistem pemidanaan di Belanda dan Inggris, penelitian ini menunjukkan bahwa sanksi tindakan seperti kerja sosial, rehabilitasi, dan konseling dapat menjadi solusi progresif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pidana penjara. Kajian ini juga menempatkan keadilan restoratif sebagai landasan filosofis dalam penerapan sanksi tindakan. Pendekatan restoratif menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, serta mendorong penyelesaian konflik secara dialogis dan partisipatif. Dengan mengintegrasikan prinsip keadilan restoratif ke dalam sistem pemidanaan, sanksi tindakan tidak hanya berfungsi sebagai instrumen hukum, tetapi juga sebagai sarana pemulihan sosial yang berkelanjutan. Hasil kajian menegaskan bahwa pengaturan sanksi tindakan sejalan dengan tujuan pemidanaan modern yang menitikberatkan pada rehabilitasi, pencegahan kejahatan, dan perlindungan masyarakat.Hasil kajian menegaskan bahwa pengaturan sanksi tindakan sejalan dengan tujuan pemidanaan modern yang menitikberatkan pada pemulihan sosial, pencegahan kejahatan, dan perlindungan masyarakat. Dengan demikian, implementasi sanksi tindakan di Indonesia berpotensi menjadi instrumen strategis dalam menanggulangi prison overcapacity secara berkelanjutan.Kata Kunci: Sanksi tindakan, Prison overcapacity, Keadilan restoratif