Restitusi diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan melampirkandokumen-dokumen persyaratan permohonan restitusi yang kemudian hakimpengadilan akan mempertimbangkan permohonan restitusi tersebut. Permasalahandalam penelitian ini adalah bagaimana kepastian hukum terhadap penjatuhansanksi pidana restitusi terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orangberdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orang jo Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi danKorban?Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif denganmenggunakan data sekunder.Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kepastian hukum terhadap penjatuhansanksi pidana restitusi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang telah diaturdalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TindakPidana Perdagangan Orang jo Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi danKorban dilakukan dengan mekanisme pengajuan restitusi sejak korbanmelaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesiasetempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindakpidana yang dilakukan. Namun demikian, dalam penerapan penjatuhan sanksipidana restitusi terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam putusanPengadilan Negeri Jambi Nomor 538/Pid.Sus/2014/PN.Jmb, tanggal 18 Desember2015 tidak tepat oleh karena Hakim Pengadilan tidak memeriksa kelengkapandokumen permohonan restitusi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umumsebelum memutuskan sanksi restitusi, sedangkan Jaksa Penuntut Umum jugamelakukan kelalaian dengan tidakmelampirkan kelengkapan dokumen, sehinggaputusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 538/Pid.Sus/2014/PN.Jmb dapatmengurangi marwah kepastian hukumnya.