Divorce is a complex social phenomenon that continues to increase year after year, both in Muslim and non-Muslim societies. The main factors leading to divorce include social, economic and cultural changes. Although there are differences in divorce rates across countries, particularly in Muslim-majority countries, there are cases of divorce that can and cannot be decided by the courts. This research discusses the legal provisions of divorce in Egypt, specifically in Law No. 25 of 1920 and Law No. 25 of 1929. These two laws set out the requirements for religious courts in granting divorce, which are based on the ijtihad of fiqh scholars as there are no explicit provisions in the Qur'an and Sunnah. The main principle in these regulations is to simplify the affairs of the people, avoid difficulties, and conform to the values of tolerance in Islamic law. The 1920 Egyptian Law stipulates that divorce is possible if the husband is unable to provide maintenance or has a disability. The 1929 law added other grounds, such as danger to the wife's life, neglect without a valid reason, or the husband serving a prison sentence. This article examines each of these grounds and their corresponding articles, with the exception of divorce due to disability. Perceraian merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik di masyarakat Muslim maupun non-Muslim. Faktor utama yang menyebabkan perceraian meliputi perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Meskipun terdapat perbedaan dalam tingkat perceraian di berbagai negara, khususnya di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, terdapat kasuskasus perceraian yang dapat dan tidak dapat diputuskan oleh pengadilan. Penelitian ini membahas ketentuan hukum perceraian di Mesir, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1920 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1929. Kedua undang-undang ini menetapkan syarat-syarat bagi pengadilan agama dalam menjatuhkan talak, yang disusun berdasarkan ijtihad ulama fikih karena tidak ada ketentuan eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Prinsip utama dalam peraturan ini adalah mempermudah urusan umat, menghindari kesulitan, serta menyesuaikan dengan nilai-nilai toleransi dalam syariat Islam. Undang-Undang Mesir Tahun 1920 menetapkan bahwa talak dapat dilakukan jika suami tidak mampu memberi nafkah atau memiliki cacat. Undang-Undang Tahun 1929 menambahkan alasan lain, seperti bahaya terhadap jiwa istri, penelantaran tanpa alasan yang sah, atau suami yang menjalani hukuman penjara. Artikel ini mengkaji masing-masing alasan tersebut beserta pasal yang berkaitan, kecuali talak karena cacat.