Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena gegar budaya yang dialami oleh remaja perantau yang bekerja sebagai barista di Bangkalan. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar perantau merasakan gegar budaya, kecuali beberapa yang memiliki latar belakang toleransi terhadap perbedaan, seperti Syafriandika Naufal dan Ilham. Informan lain, seperti Andy dan Irvan, menunjukkan respon adaptasi yang berbeda terhadap lingkungan budaya Madura; Andy masih berjuang dengan diskriminasi, sementara Irvan mengekspresikan kegelisahannya melalui reaksi fisik. Beberapa informan lainnya, seperti Michael dan Aji, mengatasi tantangan budaya dengan memberi ruang bagi diri sendiri. Hambatan dalam komunikasi juga dialami oleh informan lainnya, yang mengarah pada kesulitan adaptasi. Para perantau mengadopsi strategi adaptasi yang beragam, termasuk membangun hubungan dengan masyarakat setempat. Berdasarkan teori adaptasi budaya oleh Kalvero Oberg, informan melewati empat tahap adaptasi: honeymoon, hostility, recovery, dan adjustment, dengan kecepatan yang berbeda. Faktor etnosentrisme dan gaya hidup masyarakat Madura berperan signifikan dalam menciptakan gegar budaya, sementara bahasa bukan faktor utama. Penelitian ini menggarisbawahi kompleksitas interaksi antarbudaya di Madura akibat kurangnya pengungkapan diri oleh masyarakat lokal dan persepsi stereotip yang berkembang antar budaya.