Untuk mengawali pembahasan sebuah problem, sewajarnya dapat dimulai dengan berusaha mendefinisikan problem yang akan dikaji tersebut. Secara filosofis, upaya ini biasa disebut dengan menentukan terlebih dahulu ontologinya untuk kemudian melanjutkannya dengan memahami epistemologi dan aksiologinya. Namun dari segi ontologi, kondisi penegakan hukum di Indonesia masih terdapat ketimpangan (disparitas) dalam beberapa kasus. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui perkara-perkara kecil tapi dianggap besar dan terus dipermasalahkan yang sebenarnya bisa di selesaikan dengan sikap kekeluargaan, namun berlangsung dengan persidangan yang tidak masuk akal. Padahal aspek sosiologis justru memiliki daya adil yang hakiki dibanding hukum tertulis tersebut. Di tengah keterpurukan praktik penegakan hukum di Indonesia yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin seperti Nenek Minah, maka sudah saatnya penegak hukum dalam menegakan hukum tidak sekedar memahami dan me-nerapkan hukum secara legalistic positivistik, yakni cara berhukumnya yang hanya berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tetapi perlu melakukan terobosan hukum, berupa penerapan hukum progresif. salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau dogma hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis sosiologis, diharapkan selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.