Investasi fiktif merupakan bentuk kejahatan ekonomi yang marak terjadi di era digital dan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Meskipun aparat penegak hukum telah berupaya menindak pelaku melalui jalur pidana, kenyataannya sistem peradilan pidana di Indonesia masih berfokus pada penghukuman pelaku dan belum sepenuhnya menjamin pemulihan kerugian korban. Akibatnya, korban sering kali tidak memperoleh ganti rugi yang sepadan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Kebaruan dalam penelitian ini terletak pada penekanan pentingnya peran lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Satgas Waspada Investasi dalam menyediakan perlindungan hukum tambahan di luar sistem peradilan melalui mekanisme yang lebih cepat dan responsif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hukum yang mengatur pengembalian kerugian bagi korban investasi fiktif serta mengidentifikasi bentuk upaya perlindungan hukum yang dapat diperkuat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme pemulihan kerugian sebenarnya telah diatur dalam Pasal 98–101 KUHAP melalui penggabungan gugatan perdata dalam perkara pidana, Pasal 7A ayat (1) UU No. 31 Tahun 2014 tentang hak restitusi korban, serta POJK No. 6/POJK.07/2022 tentang kewajiban ganti rugi oleh pelaku usaha jasa keuangan. Sementara itu, Pasal 378 KUHP menjadi dasar pemidanaan terhadap pelaku penipuan investasi. Namun dalam praktiknya, perlindungan korban belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret seperti pembentukan dana perlindungan investor, penyederhanaan mekanisme restitusi, serta putusan pengadilan yang lebih berpihak pada korban demi mewujudkan keadilan yang berimbang antara pelaku dan korban.