Abstrak. Kasus pembatalan perkawinan yang terjadi di Pengadilan Agama Bandung pada perkara Nomor 2860/Pdt.G/2023/PA.Badg. karena adanya paksaan oleh keluarga kedua belah pihak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Putusan Hakim Nomor 2860/Pdt.G/2023/PA.Bdg yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan akibat paksaan, dengan merujuk pada Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 2019 dan prinsip-prinsip hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan analisis yuridis normatif terhadap teks putusan dan regulasi yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim mengedepankan asas kehati-hatian dalam menilai bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat, yang mencakup keterangan saksi dan dokumen pendukung. Keputusan hakim menunjukkan bahwa paksaan sebagai alasan sah untuk pembatalan perkawinan harus dibuktikan secara objektif dan memenuhi standar pembuktian yang berlaku. Implikasi dari putusan ini juga menekankan pentingnya perlindungan hak individu dalam konteks perkawinan serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai paksaan dalam perkawinan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pemahaman hukum serta mendorong reformasi dalam praktik hukum yang lebih adil dan transparan. Abstract. The case of marriage cancellation that occurred in the Religious Court of Bandung under case number 2860/Pdt.G/2023/PA.Badg was due to coercion from the families of both parties. This research aims to analyze the ruling of Judge No. 2860/Pdt.G/2023/PA.Bdg concerning the cancellation of marriage due to coercion, with reference to Law No. 16 of 2019 on Marriage and the principles of Islamic law. The research methodology employed is qualitative, using a normative legal analysis approach to the text of the ruling and relevant regulations. The findings indicate that the court prioritized the principle of caution in evaluating the evidence presented by the plaintiff, which included witness testimonies and supporting documents. The judge's decision demonstrates that coercion, as a legitimate reason for marriage cancellation, must be objectively proven and meet the required standards of proof. The implications of this ruling also highlight the importance of individual rights protection in the context of marriage and the need to raise public awareness about coercion in marriage. This research is expected to contribute to the development of legal understanding and encourage reforms in legal practices that are fairer and more transparent.