Background: Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a major public health problem in Indonesia, with significant regional variations in incidence. Despite the government's implementation of various control programs, DHF cases continue to exhibit specific spatial clustering patterns influenced by environmental and demographic factors. Purpose: To analyze the spatial distribution of dengue fever cases in Indonesia and identify environmental and climatic factors associated with dengue fever incidence through a spatial analysis approach. Method: This study followed the PRISMA guidelines and included articles published between January 2020 and December 2024. A literature search was conducted through the PubMed and SINTA databases using the keywords "spatial analysis," "dengue hemorrhagic fever," "DHF," and "Indonesia." Articles meeting the inclusion criteria were analyzed narratively and grouped based on similar findings. Results: Six articles met the inclusion criteria. Most studies used spatial analysis tools such as ArcGIS, Moran's I, and LISA to map clustering and autocorrelation patterns of dengue cases. The results showed that dengue cases tended to be concentrated in areas with high population density. Environmental factors such as temperature (25°C–30°C) and humidity were strongly associated with mosquito behavior and dengue transmission risk, while rainfall showed a weaker relationship. One study demonstrated a dispersed pattern of cases. Conclusion: Spatial analysis methods have proven effective in identifying high-risk dengue clusters and understanding the influence of environmental variables on transmission dynamics. The results of this review emphasize the importance of geographically focused public health interventions and the need for continuous monitoring and mapping of dengue cases in endemic areas. Keywords: Air Humidity; Dengue Hemorrhagic Fever; Spatial Analysis. Pendahuluan: Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia dengan variasi kejadian yang signifikan antar wilayah. Meskipun pemerintah telah menjalankan berbagai program pengendalian, kasus DBD tetap menunjukkan pola pengelompokan spasial tertentu yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan demografis. Tujuan: Untuk menganalisis pola distribusi spasial kasus demam berdarah di Indonesia dan mengidentifikasi faktor lingkungan dan iklim yang terkait dengan kejadian demam berdarah melalui pendekatan analisis spasial. Metode: Penelitian tinjauan pustaka menggunakan pedoman PRISMA dan mencakup artikel yang diterbitkan pada periode Januari 2020 hingga Desember 2024. Pencarian literatur dilakukan melalui database PubMed dan SINTA dengan kata kunci "analisis spasial", "demam berdarah dengue", "DBD" dan “Indonesia”. Artikel yang memenuhi kriteria inklusi dianalisis secara naratif dan dikelompokkan berdasarkan kesamaan hasil. Hasil: 6 artikel memenuhi kriteria inklusi dan sebagian besar penelitian menggunakan alat analisis spasial, seperti ArcGIS, Moran's I, dan LISA untuk memetakan pola pengelompokan dan autokorelasi kasus demam berdarah. Kasus demam berdarah cenderung terkonsentrasi di daerah dengan kepadatan penduduk tinggi. Faktor lingkungan seperti suhu (25–30°C) dan kelembaban udara memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku nyamuk dan risiko penularan demam berdarah, sedangkan curah hujan menunjukkan hubungan yang lemah. Simpulan: Metode analisis spasial telah terbukti efektif dalam mengidentifikasi klaster demam berdarah berisiko tinggi dan memahami pengaruh variabel lingkungan terhadap dinamika penularan. Hasil tinjauan ini menekankan pentingnya intervensi kesehatan masyarakat yang berfokus secara geografis dan perlunya pemantauan dan pemetaan kasus demam berdarah secara berkelanjutan di daerah endemik. Kata Kunci: Analisis Spasial; Demam Berdarah Dengue; Kelembaban Udara.