Indonesia beralih dari sistem kontraktual (KK dan PKP2B) ke rezim perizinan (IUP/IUPK) untuk memperkuat kedaulatan negara atas sumber daya alam. Secara normatif, perubahan ini bertujuan meningkatkan pengawasan dan tanggung jawab lingkungan. Namun dalam kenyataannya, proses transisi masih menghadapi hambatan, seperti resistensi perusahaan dan kendala administratif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan hukum yang terjadi dari rezim kontrak karya (KK) ke rezim Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta mengidentifikasi dan menjelaskan implikasi hukum yang ditimbulkan dari perubahan tersebut, khususnya yang berkorelasi dengan kepastian hukum bagi perusahaan tambang dalam melaksanakan kegiatan pertambangan di Indonesia. Studi ini menggunakan metodologi kualitatif yang didasarkan pada kerangka hukum normatif. Pendekatan ini memfasilitasi pembuatan data deskriptif yang lengkap, yang berasal dari narasi tertulis dan aturan perundang-undangan yang terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan dari Kontrak Karya ke IUPK dalam UU No. 3 Tahun 2020 menggeser hubungan dari hukum perdata ke hukum publik. KK sebagai kontrak bilateral tunduk pada asas pacta sunt servanda, sehingga perubahan sepihak berpotensi melanggar hak kontraktual. Sementara IUPK merupakan izin administratif satu pihak, yang memberi negara kewenangan penuh untuk mengatur dan mencabut izin secara sepihak. Peralihan dari Kontrak Karya ke IUPK mengubah hubungan hukum antara negara dan perusahaan dari kontraktual menjadi perizinan. Dalam rezim KK, berlaku asas konsensualisme dan pacta sunt servanda, sehingga perubahan harus disepakati kedua pihak. Namun dalam rezim IUPK, negara dapat mengatur secara sepihak. Akibatnya, hilangnya asas konsensualisme memicu ketidakpastian hukum bagi investor, serta berpotensi melanggar prinsip perlindungan hak dan stabilitas kontrak.