Pencemaran asap lintas batas akibat kebakaran hutan merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling signifikan di kawasan Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai penyumbang utama. Setiap tahun, kebakaran hutan yang disebabkan oleh praktik pembakaran lahan untuk pertanian dan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan gangguan pada kualitas udara, kesehatan masyarakat, dan perekonomian di negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Dampak negatif ini tidak hanya terbatas pada kerusakan ekologi, tetapi juga mengganggu sektor pariwisata, transportasi, dan meningkatkan biaya medis akibat masalah kesehatan yang ditimbulkan. Untuk merespons masalah tersebut, ASEAN mengadopsi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada tahun 2002 yang bertujuan untuk mengurangi pencemaran udara lintas batas melalui kerja sama antarnegara anggota. Meskipun Indonesia meratifikasi AATHP pada tahun 2014, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk penegakan hukum yang lemah, kepentingan sektor swasta, dan ketidaksepakatan dalam kebijakan antara negara-negara anggota ASEAN. Penegakan hukum yang tidak efektif di Indonesia dan ketergantungan pada pembakaran lahan untuk memperluas perkebunan menjadi hambatan utama dalam mencapai tujuan pengendalian kebakaran hutan yang berkelanjutan. Meskipun demikian, ASEAN telah berusaha memperkuat kerjasama regional melalui mekanisme seperti ASEAN Coordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control (ACCTHPC), namun efektivitas dari AATHP masih terbatas. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan komitmen politik dari seluruh negara anggota ASEAN, penguatan penegakan hukum di tingkat nasional, serta koordinasi yang lebih baik antarnegara agar tujuan ASEAN bebas asap pada tahun 2030 dapat tercapai. Reformasi kebijakan yang melibatkan seluruh sektor, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga sektor swasta, sangat penting untuk menjamin keberlanjutan lingkungan yang lebih baik.