Dalam konteks keluarga Indonesia, peran ayah sering kali dipersempit pada fungsi sebagai pencari nafkah utama, yang diperkuat oleh budaya paternalistik yang masih mengakar kuat. Kondisi ini turut melahirkan fenomena fatherless secara fungsional, yaitu ketika ayah hadir secara fisik namun tidak terlibat secara emosional dalam pengasuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana komunikasi interpersonal antara ayah dan anak berkontribusi dalam membentuk self-efficacy anak, khususnya dalam keluarga yang mengalami keterbatasan interaksi akibat tekanan pekerjaan dan konstruksi budaya. Menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi non-partisipatif, dan dokumentasi terhadap dua keluarga yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah yang dibebani oleh tuntutan kerja serta dipengaruhi pola pengasuhan otoriter cenderung mengalami hambatan dalam membangun komunikasi emosional dengan anak. Lima komponen utama dalam komunikasi interpersonal keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan belum sepenuhnya muncul dalam relasi ayah-anak, sehingga memengaruhi perkembangan self-efficacy anak. Keterbatasan komunikasi antara ayah dan anak, baik secara kuantitas maupun kualitas, berdampak signifikan terhadap pembentukan kepercayaan diri anak. Oleh karena itu, penting bagi ayah untuk membangun komunikasi yang lebih suportif dan setara, meskipun di tengah keterbatasan peran akibat faktor eksternal.