ABSTRACT High unemployment rate in the region necessitates labor training policies that not only enhance skills but also align with industry needs. Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bandung Barat (Disnaker KBB), through the Balai Latihan Kerja (BLK), has organized various training programs, particularly in food and beverage processing as well as textiles and apparel. This study aims to evaluate the labor training curriculum policy, identify the challenges encountered, and formulate improvement efforts. The research employed a descriptive qualitative approach through in-depth interviews with Disnaker, BLK, industry representatives, and training participants. The findings reveal that while the training curriculum is fairly relevant in improving participants’ basic skills, there remains a gap with industry demands, particularly in terms of soft skills, work readiness, and work ethics. The main obstacles include limited facilities, a lack of instructors with industry experience, and weak coordination among stakeholders. Recommended efforts include improving infrastructure, involving industry in curriculum development, strengthening instructor capacity, and establishing an alumni monitoring system. These measures are expected to make labor training policies in Kabupaten Bandung Barat more effective, adaptive, and sustainable in enhancing human resource quality. ABSTRAK Tingginya tingkat pengangguran di daerah menuntut adanya kebijakan pelatihan tenaga kerja yang mampu meningkatkan keterampilan sekaligus relevan dengan kebutuhan industri. Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bandung Barat (Disnaker KBB) melalui Balai Latihan Kerja (BLK) telah menyelenggarakan berbagai program pelatihan, khususnya di bidang pengolahan makanan dan minuman serta tekstil dan pakaian. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kebijakan kurikulum pelatihan tenaga kerja, mengidentifikasi hambatan yang dihadapi, serta merumuskan upaya perbaikan. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif melalui wawancara mendalam dengan Disnaker, BLK, perwakilan industri, serta peserta pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurikulum pelatihan cukup relevan dalam meningkatkan keterampilan dasar peserta, namun masih terdapat kesenjangan dengan kebutuhan industri terutama pada aspek soft skills, kesiapan kerja, dan etos kerja. Hambatan utama mencakup keterbatasan sarana, kurangnya instruktur dengan pengalaman industri, serta lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan. Upaya yang disarankan meliputi peningkatan sarana prasarana, keterlibatan industri dalam penyusunan kurikulum, penguatan kapasitas instruktur, serta pengembangan sistem monitoring alumni. Dengan langkah tersebut, kebijakan pelatihan tenaga kerja di Kabupaten Bandung Barat dapat lebih efektif, adaptif, dan berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.