Perkembangan teknologi digital telah memunculkan bentuk baru dalam praktik perjanjian, yakni kontrak hibrida yang menggabungkan karakteristik kontrak tradisional dengan smart contract berbasis blockchain. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konsep terbentuknya kontrak hibrida, menganalisis pemenuhan syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), serta menilai keunggulan, tantangan, dan prospek penerapannya dalam konteks bisnis di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan konseptual (conceptual approach), melalui analisis terhadap KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrak hibrida memiliki fondasi hukum yang sah sepanjang memenuhi unsur kesepakatan, kecakapan para pihak, objek tertentu, dan sebab yang halal sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata. Smart contract berfungsi sebagai pelaksana otomatis sebagian klausul perjanjian, namun belum memiliki pengaturan spesifik dalam sistem hukum Indonesia. Keunggulan utama kontrak hibrida terletak pada efisiensi, transparansi, dan keamanan transaksi, sedangkan tantangannya meliputi ketidakpastian regulasi, risiko keamanan siber, dan keterbatasan infrastruktur digital. Dengan pembentukan regulasi yang jelas serta peningkatan literasi hukum teknologi, kontrak hibrida berpotensi menjadi instrumen hukum modern yang adaptif terhadap era ekonomi digital.