Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Pemfigoid Bulosa Ekstensif Atipikal dengan Keterlibatan Mukosa Genital pada Pria 31 Tahun: Laporan Kasus Langka dan Berat dari Bangka Belitung, Indonesia David Herryanto; Andriansyah Bonorusid
The Indonesian Journal of General Medicine Vol. 17 No. 4 (2025): The Indonesian Journal of General Medicine
Publisher : International Medical Journal Corp. Ltd

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70070/72cfzc63

Abstract

Pendahuluan: Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun bulosa subepidermal yang paling umum, secara klasik menyerang populasi lansia, biasanya pada dekade ketujuh hingga kedelapan kehidupan (Kridin, 2018; Schmidt et al., 2022). Patogenesisnya dimediasi oleh autoantibodi IgG yang menargetkan protein hemidesmosom BP180 dan BP230 (Dewi, 2017; Fuertes de Vega et al., 2014). Presentasi pada individu dewasa muda, terutama dengan manifestasi klinis yang parah dan keterlibatan mukosa genital, sangat jarang dilaporkan dan menimbulkan tantangan diagnostik serta terapeutik yang signifikan (Rocha et al., 2011; Al-Dhaheri et al., 2023). Laporan kasus ini bertujuan untuk mendokumentasikan secara komprehensif presentasi klinis yang sangat atipikal, dilema diagnostik yang kompleks, dan strategi penatalaksanaan awal pada kasus PB yang langka ini. Ilustrasi Kasus: Seorang pasien laki-laki berusia 31 tahun datang dengan keluhan lesi bula tegang yang luas dan progresif cepat selama satu bulan, menyebar di abdomen, punggung, dan area genital . Keluhan disertai pruritus berat dan nyeri. Pemeriksaan dermatologis menunjukkan bula multipel berdinding tegang dengan berbagai ukuran, erosi, dan krusta hemoragik di atas dasar kulit eritematosa. Lesi di perut tertutup krusta tebal akibat aplikasi obat oles ramuan tradisional yang tidak diketahui jenisnya (krusta medikamentosa). Kondisi ini diperparah oleh infeksi sekunder dan higiene personal yang buruk, di mana pasien sudah lama tidak mandi. Ditemukan pula erosi pada mukosa oral dan genital. Secara mengejutkan, ditemukan tanda Nikolsky dan tanda Asboe-Hansen yang positif, menciptakan sebuah paradoks klinis yang signifikan . Diagnosis kerja ditegakkan sebagai pemfigoid bulosa, dengan diagnosis banding utama sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan pemfigus vulgaris (PV). Pasien dirawat inap dan diberikan terapi kortikosteroid sistemik intravena (deksametason), antibiotik spektrum luas, dan perawatan luka suportif . Diskusi: Kasus ini menyoroti beberapa penyimpangan utama dari gambaran klasik PB: usia onset yang sangat muda, tingkat keparahan penyakit yang ekstensif, dan keterlibatan mukosa genital yang langka, yang merupakan penanda penyakit yang lebih berat (Kridin et al., 2019). Adanya tanda Nikolsky yang positif, sebuah temuan yang secara klasik berasosiasi dengan pemfigus akibat akantolisis intraepidermal, menjadi anomali klinis yang paling menantang (Uzun & Durdu, 2016). Hipotesis yang diajukan adalah bahwa proses inflamasi yang sangat intens pada PB dapat menyebabkan kerusakan sekunder pada epidermis, menghasilkan fenomena "pseudo-Nikolsky" atau bahkan pelemahan kohesi epidermal basal yang menyerupai tanda Nikolsky sejati (Sardana & Garg, 2013). Temuan ini menekankan keterbatasan tanda klinis tunggal dalam diagnosis dan menggarisbawahi peran krusial pemeriksaan penunjang definitif seperti biopsi kulit dan imunofluoresensi direk (DIF) untuk diagnosis yang akurat (Murrell et al., 2021). Infeksi sekunder disebabkan oleh pengobatan tradisional. Kesimpulan: Pemfigoid bulosa dapat bermanifestasi pada dewasa muda dengan gambaran klinis yang parah dan atipikal, termasuk keterlibatan mukosa genital dan tanda klinis yang menyesatkan. Diperlukan kewaspadaan klinis yang tinggi dan pendekatan diagnostik yang sistematis, termasuk konfirmasi melalui pemeriksaan histopatologi dan imunopatologi, untuk memastikan penatalaksanaan yang tepat dan akurat pada kasus-kasus yang kompleks.
Neglected Care Leading to Generalised Tuberculosis Verrucosa Cutis in a 25-Year-Old Immunocompetent Patient: A Rare Case Report from Bangka Belitung and Literature Review David Herryanto; Andriansyah Bonorusid
The International Journal of Medical Science and Health Research Vol. 18 No. 6 (2025): The International Journal of Medical Science and Health Research
Publisher : International Medical Journal Corp. Ltd

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70070/ghgprf77

Abstract

Introduction: Tuberculosis (TB) remains a significant global health issue. Cutaneous tuberculosis (CTB) is a rare extrapulmonary manifestation, accounting for only 1–2% of all extrapulmonary TB cases. Tuberculosis verrucosa cutis (TVC) is a unique, paucibacillary form of CTB, typically presenting as a solitary lesion in a previously sensitised individual with good immunity. Generalised TVC in an immunocompetent patient is an exceptionally rare presentation and poses a considerable diagnostic challenge. Case Illustration: A 25-year-old, immunocompetent male patient presented with a 20-year history of progressive, painful verrucous skin lesions. The condition began as a single papule on his knee at age 5 and gradually disseminated to involve nearly the entire body surface, including the trunk, extremities, head, and all 20 nails (total onychodystrophy). Laboratory investigations revealed significant neutrophilic leukocytosis and progressive anaemia of chronic disease, Laboratory investigations revealed significant neutrophilic leukocytosis, progressive anaemia of chronic disease, and normal baseline liver and kidney function, while serology for HIV was negative. A chest radiograph showed no evidence of active pulmonary tuberculosis, pointing towards an exogenous inoculation form of the disease. Literature Review and Discussion: TVC results from the exogenous inoculation of Mycobacterium tuberculosis into the skin of an individual with pre-existing cell-mediated immunity. This immunity prevents systemic dissemination but allows for local persistence of the bacilli, resulting in a paucibacillary lesion that is difficult to diagnose microbiologically. This case represents an extreme spectrum of neglected disease, where a two-decade diagnostic delay allowed for extensive local spread via autoinoculation and contiguous extension, culminating in a severe and debilitating clinical presentation. The diagnosis often relies on clinicopathological correlation and the response to anti-tubercular therapy. Conclusion: This case report highlights the severe consequences of delayed diagnosis and inadequate management of TVC. It underscores the critical importance of maintaining a high index of clinical suspicion for chronic verrucous lesions, particularly in TB-endemic regions, to prevent significant long-term morbidity and permanent disability.