Indonesia menguasai lebih dari 70% share perdagangan pala dunia, namun didominasi oleh biji kering, fuli, minyak pala, bubuk pala, dan sedikit daging buah, dengan species utama adalah pala banda (Myristica fragrans Houtt.). Di daerah Papua Barat, terdapat species Myristica argentea Warb. yang hanya memiliki minyak atsiri sekitar 4-5%, lebih rendah daripada Myristica fragrans Houtt., sehingga tidak diterima dalam pasar rempah dunia. Myristica argentea Warb. diketahui memiliki kandungan lemak Trimiristin yang sangat tinggi mencapai 79,5%. Trimiristin adalah lemak yang tersusun dari asam lemak miristat memiliki nilai ekonomi sangat tinggi karena penggunaannya yang sangat luas dalam industri farmasi dan kosmetika. Namun sampai saat ini belum ada upaya komersialisasi trimiristin pala dalam skala industri. Selain pengambilan lemak trimiristin dari Myristica argentea Warb. sebagai bahan sediaan farmasi, bagian lain buah tersebut dapat dimanfaatkan untuk produksi minyak pala. Pemanfaatan keseluruhan bagian buah pala Myristica argentea Warb. tersebut dirancang dalam suatu model industri terpadu. Model industri terpadu terdiri dari industri hulu pengeringan pala, industri antara yakni bubuk pala, dan industri hilirnya yakni produksi trimiristi dan minyak pala. Disain model industri terpadu pengolahan pala untuk bahan sediaan farmasi ini direncanakan dalam satu hamparan seluas 33 hektar, dilengkapi dengan fasilitas sumber energy, dermaga ekspor dan logistik, kawasan perkantoran, kawasan pergudangan, pengolahan limbah, pengolahan air bersih, fasilitas karyawan, hingga pemukiman. Seluruh fasilitas industri, umum, dan sosial dipersiapkan dalam satu kawasan karena industri dirancang mendekati kebun rakyat di Papua Barat. Biaya Modal pendirian industri terpadu tersebut Rp. 939,38 Milyar dan diperhitungkan akan kembali dalam waktu 65 bulan. Rata-rata laba per tahun dalam 6 tahun pertama dihitung mencapai 41,87%. Proyek ini pada layak dengan nilai NPV Rp. 131,6 Milyar, B/C ratio 1.14 dan IRR 12,10%.