Kanker paru merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di dunia, dengan angka kejadian yang sangat tinggi. Di Indonesia, kanker paru menduduki peringkat kedua setelah kanker payudara dengan jumlah kasus mencapai 38.904 pada tahun 2022. Penyakit ini lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Berbagai faktor risiko berkontribusi terhadap kejadian kanker paru, termasuk kebiasaan merokok, paparan polusi udara, paparan radon, faktor genetik, serta riwayat penyakit paru seperti tuberculosis (TB) paru dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia, dengan lebih dari satu juta kasus pada tahun 2023. Infeksi TB dapat menyebabkan inflamasi kronik yang mengarah pada fibrosis jaringan paru, yang dapat meningkatkan risiko kanker paru. Inflamasi kronik ini juga memicu peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) dan sitokin proinflamasi, yang dapat menyebabkan kerusakan DNA serta memicu mutasi genetik yang berkontribusi terhadap karsinogenesis. PPOK, di sisi lain, merupakan penyakit tidak menular yang umumnya dikaitkan dengan paparan asap rokok dalam jangka panjang. PPOK ditandai dengan inflamasi kronik pada saluran napas yang menyebabkan penyempitan dan kerusakan alveoli secara ireversibel. Proses inflamasi ini melibatkan pelepasan berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-6, dan IL-8, yang dapat memicu stress oksidatif dan mempercepat proses epithelial-mesenchymal transition (EMT), suatu mekanisme penting dalam perkembangan kanker paru. Hubungan erat antara TB paru, PPOK, dan kanker paru menunjukkan bahwa kedua penyakit paru ini bukan hanya sekadar faktor risiko, tetapi juga berkontribusi secara langsung dalam proses karsinogenesis melalui mekanisme inflamasi, fibrosis, dan mutasi genetik. Oleh karena itu, deteksi dini dan penanganan yang tepat terhadap TB paru dan PPOK dapat menjadi strategi penting dalam pencegahan kanker paru.