Bekerja menjadi pekerja migran adalah strategi yang digunakan oleh banyak keluarga di dunia untuk meningkatkan taraf hidup. Sebagian besar dari pekerja migran baik secara global maupun nasional adalah perempuan. Dengan besarnya jumlah perempuan yang menjadi pekerja migran, angka jumlah anak yang ditinggalkan ibunya bekerja juga besar dan jumlahnya kemungkinan akan terus bertambah. Di Indonesia, sekitar satu juta anak ditinggal oleh orang tuanya untuk bekerja di luar negeri dan anak-anak yang ditinggalkan ini mengalami berbagai permasalahan ketika orang tuanya bekerja di luar negeri. Berbagai permasalahan yang terjadi di antaranya adalah kurangnya perhatian yang diberikan oleh pihak yang mengasuh, tidak mendapat pendidikan yang baik, mengalami kekerasan fisik, psikis dan seksual, sulit beradaptasi, mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental, terjerat narkoba, dan sebagainya. Meskipun berbagai permasalahan dialami oleh anak-anak pekerja migran, pengetahuan dan pemahaman orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, negara, dan termasuk anak sendiri mengenai hak-hak anak masih kurang. Selain itu, permasalahan anak pekerja migran masih lebih banyak dilihat dari kacamata dewasa dan belum banyak memberikan perhatian terhadap pengalaman anak-anak, yang dilihat dari sudut pandangan anak-anak pula. Artikel ini memaparkan pentingnya melibatkan anak dalam penentuan keputusan bermigrasi karena pemenuhan hak-hak anak lainya akan terdampak dari migrasi orang tuanya. Anak juga perlu dilibatkan dalam penentuan pengasuh pengganti ketika salah satu atau kedua orang tua bekerja ke luar negeri. Anak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang membuatnya mampu untuk berpendapat dan ikut dalam pengambilan keputusan.