Kajian ini fokus pada kontribusi fatwa agama MUI terhadap situasi kehidupan beragama yang diwarnai oleh berbagai jenis diskriminasi, intoleransi, bahkan kekerasan berbasis agama. Penelitian ini menemukan bahwa fatwa agama MUI, dalam praktiknya dijadikan pijakan oleh penyelenggara negara untuk melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan. Risikonya, kebijakan hukum tidak lagi berdasarkan konstitusi dan undang-undang, melainkan fatwa MUI. Kondisi ini melahirkan pemerintahan otoriter yang dilegitimasi oleh pandangan agama. Di sisi lain fatwa tersebut memberikan situasi kehidupan beragama yang diwarnai oleh berbagai jenis diskriminasi, intoleransi, bahkan kekerasan berdasarkan agama. Permasalahan penyimpangan seksual (lesbian, gay, biseksual dan transgender) saat ini menjadi topik yang hangat diperbincangkan masyarakat, mulai dari media cetak dan elektronik, dari kalangan tokoh Islam sendiri memperbolehkan kaum gay dan lesbian, dengan alasan tidak ada perbedaan antara gay dan non-homo dan tidak ada perbedaan antara lesbian dan non-lesbian. Menurut mereka bahwa Manusia hanya bisa berlomba-lomba untuk beramal shaleh sesuai perintah Tuhannya. Islam mengajarkan bahwa seseorang gay atau lesbi seperti manusia lainnya, berpotensi menjadi seseorang yang shaleh atau bertaqwa asalkan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), mengimani kerasulan Muhammad SAW dan membawa-bawa keluarkan ibadah yang diperintahkan. Ia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik terhadap sesama manusia, sesama makhluk dan peduli terhadap lingkungannya.