p-Index From 2020 - 2025
0.835
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Justice Dialectical
e-Jurnal STIH ADHYAKSA
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Pelanggaran Anggota Polisi yang Melakukan Tindak Pidana dengan Perintah Atasan dalam Kasus Ferdy Sambo e-Jurnal STIH ADHYAKSA
Jurnal Justice Dialectical Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70720/jjd.v1i1.11

Abstract

Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tindak pidana yang dilakukan oknum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diketahui berdasarkan laporan atau pengaduan masyarakat. Aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana dengan sendirinya adalah anggota polisi yang melanggar Kode Etik dan Ketentuan Disiplin. Dalam rangka melaksanakan penegakan Kode Etik Profesi Polri diatur secara normatif dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian. Sehingga Kode Etik Profesi Kepolisian mengikat setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Beberapa pelanggaran atau kejahatan yang pernah dilakukan oleh kepolisian Indonesia antara lain: Penyalahgunaan Narkotika, Pencurian, dan Pelanggaran Disiplin. Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Kasus Pembunuhan Berencana yang melibatkan Ferdy Sambo dkk turut menguraikan bagian-bagian yang dilanggar seperti Pasal 35 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 19 (1), dan Pasal 23. Faktor-faktor umum yang mempengaruhi proses penegakan hukum: Faktor Hukum, Faktor Penegakan Hukum.
Hukum Mematuhi Perintah Atasan dalam Militer Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional e-Jurnal STIH ADHYAKSA; Qur'an Tuasikal, Fahmil
Jurnal Justice Dialectical Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70720/jjd.v1i1.12

Abstract

Pertanyaan tentang prinsip-prinsip Nuremberg diangkat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menugaskan Komisi Hukum Internasional untuk mempelajarinya. Pasal IV yang disusun Komisi ini dan berkaitan dengan perintah atasan sudah banyak dibahas. Rancangan undangundang yang menggabungkan prinsip-prinsip Nuremberg, yang disiapkan pada tahun 1954 oleh Komisi Hukum Internasional setelah berbagai rujukan ke Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa, ditangguhkan sejak lama. Dalam hukum internasional, pertanyaan apakah perintah atasan memberikan alasan tidak mempunyai dasar yang kuat dan tidak didefinisikan secara pasti. Oleh karena itu, hal ini harus diatur oleh Negara, yang harus mempertimbangkan karakteristik individual dari perundang-undangan nasionalnya. Dari sudut pandang hukum humaniter internasional, kurangnya ketentuan yang relevan tidaklah seserius yang diperkirakan. Hukum humaniter internasional harus diterapkan dan dipatuhi secara universal; Pemerintah tidak boleh memaksakan peraturan mengenai hal ini yang bertentangan dengan perundangundangan nasional, jika tidak maka peraturan tersebut akan ditolak. Selain itu, pelanggaran berat yang dilakukan dalam konflik bersenjata selama beberapa tahun terakhir pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa, dan berkaitan dengan perlakuan tidak manusiawi terhadap orang yang terluka, kondisi penahanan bagi tahanan, kegagalan untuk menghormati penduduk sipil, dan sejenisnya.
Studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 3733 Tentang Sengketa Merek Rudy Mulyanto e-Jurnal STIH ADHYAKSA; Adi Hioctava Darsana, Reza
Jurnal Justice Dialectical Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70720/jjd.v1i1.13

Abstract

HKI sendiri dapat dikategorikan sebagai benda tidak berwujud (benda immaterill). Merujuk pada Pasal 499 BW (KUH Perdata), yang dapat dinamakan kebendaan yaitu tiap-tiap barang dan tiaptiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Merek merupakan bagian dari HKI yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disingkat UU Merek dan Indikasi Geografis). Perlindungan merek terkenal di Indonesia diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan c UU Merek dan Indikasi Geografis. Perlindungan tersebut diberikan untuk mencegah terjadinya peniruan merek yang dapat menimbulkan kerugian bagi pemilik merek terkenal, baik berupa kerugian ekonomi maupun kerugian reputasi.
Analisis Sila Ke-5 Pancasila "Keadilan Sosal Bagi Seluruh Rakyat Indonesia" Terhadap Permasalahan Mantan Narapidana Yang Ingin Mencalonkan Dirinya Sebagai Anggota Legislatif, Dalam Rangka Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) e-Jurnal STIH ADHYAKSA; Nurfadillah; Putra Randa Labi, Yohanes
Jurnal Justice Dialectical Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70720/jjd.v1i1.14

Abstract

Pancasila merupakan sumber hukum tertinggi atau dasar dari segala sumber hukum di Indonesia, namun, Pancasila bukan merupakan dasar hukum tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Karena dasar hukum tertinggi dalam hierarki adalah UUD 1945 yang mana sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pancasila bukan dasar hukum, melainkan Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi atau dasar dari segala sumber hukum. Secara umum, Hak Asaasi Manusia mempunyai pengertian sebagai hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap manusia sejak lahir (hakiki), tidak dapat dicabut, dihilangkan, dan hak asasi manusia berlaku kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal, yang harus dijaga dan dihormati oleh satu sama lain. Adapun pengertian HAM terdapat pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berbunyi: “HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Anak Luar Kawin:Sebuah Analisis Hukum e-Jurnal STIH ADHYAKSA; Ashar Wicaksana, Dio; Dwi Kambela, Adam
Jurnal Justice Dialectical Vol 1 No 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70720/jjd.v1i1.15

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai anak luar kawin yang ditetapkan pada tanggal 13 Februari 2012 oleh Mahkamah Konstitusi, merupakan momentum hasil uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diajukan Machica Mochtar dalam rangka memperjuangkan hak-hak anak yang dilahirkannya dari hasil perkawinannya dengan Moerdiono. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak termasuk dalam hirarki urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu kewenangan Mahkamah Konsitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan hak yang sama kepada anak luar kawin dengan anak yang sah, termasuk hak atas nama ayah yang dilegalkan dalam akta kelahiran, hak atas nafkah dan biaya umum lainnya, hak menjadikan ayahnya sebagai wali, dan hak atas waris dan mewarisi dengan ayahnya. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, yaitu hak untuk hidup, hak untuk identitas, hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan, hak untuk perlindungan, dan hak untuk partisipasi. Namun, ketentuan ini tidak sesuai dengan ketentuan anak luar kawin yang diatur dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini karena dalam hukum Islam, perkawinan yang sah tidak harus dicatatkan di KUA. Jadi, anak luar kawin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah anak dari hasil kawin/nikah sirri, anak dari hasil perselingkuhan, anak dari hasil samen laven (hidup bersama tanpa pernikahan), dan anak dari hasil hubungan haram atau zina.