Abstract: Polygamy means a marital bond in which one party, namely the husband marries more than one wife at the same time. The phenomenon of polygamy that occurs in Kedung Banteng village is an interesting discussion for us to examine. This phenomenon is widely discussed because in Kedung Banteng village almost one area of the village practices polygamy. The condition of the community at that time was not enough knowledge about the practice of marriage and polygamy which caused them to practice a lot of polygamy. This research method uses an ethnographic approach. This approach, according to Malinowski in Spradley, aims to understand the point of view of the natives, and their life relationship, to get their view of the world. Therefore, this study examines the development of polygamy in the Kedung Banteng community according to their point of view to be analyzed with Weber's theory. This study concluded that polygamy among Wayo gang residents has become a tradition and was almost down and down until about 10 years ago, especially in the 1990s-2000s. Several factors cause polygamy, including economic, cultural, and traditional factors in the wayo alley, and personal values such as religious beliefs or views on family. Polygamy has several impacts, including first, if it is done sirri, it cannot be registered and registered at the KUA office. So that it does not have the right to be represented in all legal actions inside and outside the court such as handling birth certificates, divorce, joint property, and other civil matters; secondly the unfulfillment of justice between one wife and another; Third, financial inequality. Along with the development of the era of polygamy tradition changed so that the name of the wayo gang became the al-Huda mosque alley. Keywords: Sociology of law, Weber, development, polygamous village. Abstrak: Poligami memiliki arti ikatan perkawinan yang salah satu pihak yakni suami melakukan perkawinan lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan. Fenomena poligami yang terjadi di desa Kedung Banteng ini merupakan bahasan menarik untuk kami teliti. Fenomena ini ramai diperbincangkan karena di desa Kedung Banteng hampir satu wilayah kampungnya melakukan praktek poligami. Kondisi masyarakat pada saat itu yang belum cukup pengetahuan mengenai praktik pernikahan dan poligami yang menyebabkan mereka banyak melakukan poligami. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Pendekatan ini menurut Malinowski dalam Spradley, bertujuan untuk memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunia. Karena itu, penelitian ini mengkaji perkembangan poligami pada masyarakat Kedung Banteng menurut sudut pandang mereka untuk dianalisis dengan teori Weber. Penelitian ini menyimpulkan bahwa poligami di kalangan warga gang wayo telah menjadi sebuah tradisi dan dan hampir turun menurun dilakukan sampai sekitar 10 tahun lalu, khususnya pada tahun 1990-2000an. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan poligami, di antaranya: faktor ekonomi, budaya dan tradisi di gang wayo, dan nilai-nilai personal seperti keyakinan agama atau pandangan tentang keluarga. Poligami memiliki beberapa dampak di antaranya: pertama, jika dilakukan secara sirri maka tidak dapat dicatatkan dan didaftarkan di kantor KUA. Sehingga tidak memiliki hak untuk diwakili dalam segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan seperti mengurus akta kelahiran, perceraian, harta bersama, maupun perkara-perkara keperdataan lainnya; kedua ketidakterpenuhinya keadilan antara istri yang satu dengan istri yang lainnya; ketiga, ketidaksetaraan finansial. Seiring perkembangan zaman tradsi poligami mengalami perubahan sehingga nama gang wayo menjadi gang masjid al–Huda. Kata kunci: Sosiologi hukum, Weber, perkembangan, kampung poligami.