Environmental crises in Indonesia ranging from urban floods, transboundary haze in Sumatra, to air pollution crises caused by peatland fires in Kalimantan demonstrate that effective risk and crisis communication remains a significant challenge. Although previous studies have examined the technical aspects of disaster management, a research gap persists due to the limited number of studies that comparatively analyze pre-crisis, during-crisis, and post-crisis communication patterns across these three ecological disasters. This study offers a novelty through the synthesis of a communicative resilience model that highlights institutional coordination, public trust-building, and community participation. Using a qualitative approach grounded in library research and comparative case studies, this research analyzes policy documents, scientific articles, environmental reports, and media coverage. The analysis employs thematic analysis techniques (Braun & Clarke), involving coding, categorization, and cross-case comparison. The findings reveal that failures in risk communication are primarily caused by institutional fragmentation and low public literacy; meanwhile, crisis communication is marked by message inconsistency, delayed information, and digital media dynamics. In the post-crisis phase, weak evaluation and limited transparency hinder the restoration of public trust. These findings contribute theoretically by proposing an integrated communication model for ecological risk management and offer practical recommendations for governments and environmental agencies to develop more responsive, collaborative, and crisis-resilient communication systems. Fenomena krisis lingkungan di Indonesia mulai dari banjir perkotaan, kabut asap lintas batas di Sumatera, hingga krisis udara akibat kebakaran gambut di Kalimantan menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi risiko dan krisis masih menjadi tantangan serius. Meskipun berbagai penelitian telah membahas aspek teknis penanggulangan bencana, gap kajian muncul karena minimnya studi yang menganalisis secara komparatif pola komunikasi pre-crisis, during crisis, dan post-crisis pada tiga jenis bencana ekologis tersebut. Penelitian ini menawarkan novelty berupa sintesis model komunikasi ketahanan lingkungan (communicative resilience) yang menekankan koordinasi institusional, pembentukan kepercayaan publik, dan partisipasi komunitas. Menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi kepustakaan dan studi kasus komparatif, penelitian ini menganalisis dokumen kebijakan, artikel ilmiah, laporan lingkungan, dan pemberitaan media. Proses analisis dilakukan melalui teknik analisis tematik (Braun & Clarke) dengan tahap coding, kategorisasi, hingga perbandingan lintas kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan komunikasi risiko terutama disebabkan oleh fragmentasi institusional dan rendahnya literasi publik; sementara krisis komunikasi ditandai oleh inkonsistensi pesan, keterlambatan informasi, dan dinamika media digital. Pada tahap pasca krisis, lemahnya evaluasi dan transparansi menghambat pemulihan kepercayaan publik. Temuan ini menyumbang kontribusi teoretis berupa model komunikasi terpadu untuk pengelolaan risiko ekologis, serta rekomendasi praktis bagi pemerintah dan lembaga lingkungan dalam membangun sistem komunikasi yang lebih responsif, kolaboratif, dan tahan krisis.