Andika Risqi Irvansyah
Unknown Affiliation

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Kedudukan Hukum Keputusan Fiktif Positif Sejak Pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja Andika Risqi Irvansyah
APHTN-HAN Vol 1 No 2 (2022): JAPHTN-HAN, July 2022
Publisher : Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55292/japhtnhan.v1i2.31

Abstract

Ketentuan mengenai keputusan fiktif positif dalam Pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengalami perubahan yang signifikan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Perubahan tersebut melingkupi 3 hal yaitu batas waktu pengabulan permohonan keputusan fiktif positif, permohonan atas keputusan berbentuk elektronis, dan hapusnya Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara fiktif positif. Perubahan tersebut juga memicu adanya suatu permasalahan hukum, dalam hal ini adalah terdapat kekosongan pengaturan terhadap lembaga pemutus fiktif positif dan kerancuan pemberlakuan keputusan fiktif positif yang diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Akibat yang timbul dari hal tersebut adalah ketidakpastian pelaksanaan dari aturan hukum keputusan fiktif positif sejak diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Mengacu pada hal tersebut, maka Penulis akan melakukan analisis terhadap konsep dan kedudukan dari keputusan fiktif positif sejak pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja dan keberlakuan hukum dari keputusan fiktif positif sejak pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja. Kedua analisis tersebut akan dikaji dengan metode penelitian hukum serta menggunakan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan. Analisis berdasarkan metode tersebut menunjukkan bahwa konsep keputusan fiktif positif dalam Undang-Undang Cipta Kerja tetap mengabulkan berdasarkan hukum permohonan Keputusan Tata Usaha Negara jika telah melampaui waktu yang telah ditentukan, namun lembaga yang menentukan keberlakuan dari keputusan tersebut tidak lagi menjadi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan terhadap lembaga yang berwenang untuk menetapkan keputusan fiktif positif tetap harus ada, karena lembaga tersebut berperan sebagai pemberi legalitas atas permohonan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikabulkan secara hukum.