Masalah hukum nafkah, terkhusus pada nafkah terhadap anak hasil zina ini selalu melahirkan perbedaan-perbedaan pendapat yang prinsipal dan tajam. Berawal dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang mana mewajibkan laki-laki pezina untuk memberi nafkah kepada anak hasil zinanya dengan alasan menurut MK antara laki-laki dan anak tersebut dilihat dengan ilmu pengetahuan masih tersambung nasab, MUI merespon keputusan tersebut dengan mengeluarkan fatwanya. Sementara Shaykh Ibrahim al-Bajury mengatakan bahwa anak hasil zina hanya mempunyai nasab kepada ibu dan keluarga ibunya, bukan dari laki-laki yang menyebabkannya lahir. Sekaipun bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan, tetaplah tidak tersambung nasab antara anak hasil zina dengan laki-laki tersebut. Penulisan artikel ini dirancang menggunakan metode penelitian pustaka, yaitu dengan mengkaji fatwa MUI dan kitab Hasyiyah al-Bajury dengan analisis induktif. Dari penelitian ini ditemukan bahwa MUI mewajibkan kepada laki-laki untuk menafkahi anak tersebut sebagai hukuman ta’zir bagi laki-laki yang menyebabkan lahirnya anak zina. Sedangkan Shaykh Ibrahim berijtihad bahwa nafkah anak zina tetap wajib dari mereka yang tersambung nasab dengan anak hasil zina, yaitu ibu dan keluarga ibunya. Kedua pendapat tersebut, masing-masing memiliki implikasi yang berbeda, pertama dampak dari fatwa MUI yang memudahkan kepada si wanita pezina untuk mengulangi perbuatannya, karena sudah ada yang menjamin kehidupan anak hasil zinanya. Sebaliknya dampak dari pendapat Shaykh Ibrahim dianggap lebih menguntungkan si laki-laki, karena memiliki tanggung jawab apapun.