Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan serius yang dilakukan oleh kelompok terorganisir dan melibatkan banyak pihak. Salah satu tantangan dalam menanganinya adalah bagaimana menafsirkan unsur-unsur tindak pidana secara tepat. Artikel ini membahas Putusan Nomor 15/Pid.Sus/2017/PN.Kpg, dengan fokus pada penerapan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan analisis terhadap pertimbangan hukum majelis hakimnya. Penelitian ini memfokuskan pada dua rumusan masalah: (1) bagaimana ketentuan hukum tentang perdagangan orang diterapkan jika tujuannya adalah eksploitasi di luar negeri; dan (2) apakah pertimbangan hakim dalam perkara ini sudah tepat dalam melihat unsur-unsur pidana dan peran terdakwa. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif (hukum doktrinal), menggunakan pendekatan konseptual dan telaah peraturan perundang-undangan dan prinsip hukum. Hasil kajian menunjukkan bahwa hakim keliru dalam menafsirkan peran terdakwa sebagai bagian dari proses “perekrutan,” padahal terdakwa hanya “menerima berkas” permohonan paspor. Dalam hukum positif, unsur penting yang harus terbukti adalah tindakan “membawa” dengan maksud untuk eksploitasi. Jika unsur tersebut tidak jelas terbukti, maka dakwaan bisa tidak tepat. Unsur utama yang harus terpenuhi hanyalah “proses” yaitu “membawa” sebagai bagian dari “perekrutan” dan unsur tujuan“dengan maksud dieksploitasi.” Majelis Hakim di dalam perkara a quo keliru dalam menafsirkan unsur tindak pidana perdagangan orang dengan tujuan keluar wilayah Indonesia. Karena itu, penilaian hukum oleh hakim seharusnya dilakukan secara menyeluruh dan berdasarkan fakta hukum yang kuat. Ketidaktepatan dalam menilai unsur tersebut berpotensi mengarah pada kekeliruan putusan.