Anak merupakan sebuah titipan yang harus orang tua jaga dari usia masih bayi sampai dewasa, dalam kondisi tertentu apabila dalam sebuah rumah tangga mengalami sebuah perpisahan atau masalah, kewajiban mengasuh tetap menjadi tangung jawang kedua orang tuanya, namun bagaimana jika kondisi tertentu seperti salah stu dari kedua orangtuanya mengalami gangguan jiwa (Orang dalam ganguan jiwa), bagaimana hukum Islam melihat dan menyelesaikan kasus ini. Dalam penelitian penulis menggunakan metode deskriptif, normatif dan komparatif dengan mengkaji data-data yang bersumber dari penelitian pustaka (library research), temuan penelitian menunjukkan dalam kondisi orang dalam gangguan jiwa tidak memiliki hak untuk menjadi hadhanah, pasal 109 disebutkan bahwa pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada dibawah perwaliannya. Pendapat Keempat madzhab sama mensyaratkan berakal sebagai bagian untuk dapat menjadi hadhan. Dalam madzhab As-Syafi’i hadhan yang berakal menjadi syarat pertama. Dimana orang gila tidak berhak mengasuh anak kecil, kecuali bila gilanya tidak parah dan tidak sering. Misal sekali dalam setahun. Sedangkan madzhab Hambali, Maliki, dan Hanafi mutlak mensyaratkan berakal dan tidak ada hak asuh untuk orang gila. Hal ini sudah sesuai dengan konsep teori maslahah di mana beralihnya hak hadhanah orang tua Gangguan Jiwa kepada kerabat lain yang lebih sempurna akalnya dapat mengurangi kemadharatan terhadap minimnya pengaruh buruk terhadap anak yang akan diasuhnya.