Ilmu ushul fikih memiliki posisi sentral dalam konstruksi hukum Islam sebagai fondasi metodologis dalam proses istinbath al-ahkam dari Alqur’an dan Sunnah. Dalam khazanah keilmuan Islam, ushul fikih diyakini telah berkembang sejak masa Rasulullah dan para sahabat, meskipun belum dibukukan secara sistematis. Namun, sebagian orientalis seperti Joseph Schacht dan Patricia Crone meragukan asal-usul normatif ushul fikih dan menilai bahwa ia merupakan produk konstruksi sosial-politik abad ke-2 H, bukan warisan langsung Nabi. Tulisan ini bertujuan mengkaji diskursus antara pandangan orientalis dan ulama Muslim tentang asal-usul dan perkembangan ushul fikih secara historis dan epistemologis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan metode studi pustaka. Data dikumpulkan dari literatur primer dan sekunder, baik dari tokoh orientalis seperti Schacht, Crone, dan Hallaq, maupun ulama Muslim seperti al-Syafi’i, al-Ghazali, Wahbah al-Zuhaili, dan Mustafa al-Azami. Analisis dilakukan secara kritis dan komparatif untuk mengidentifikasi perbedaan pendekatan epistemologis serta kontribusinya terhadap pemahaman kontemporer ushul fikih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ushul fikih merupakan sintesis antara wahyu, realitas sosial, dan refleksi intelektual umat Islam, bukan sekadar produk rekayasa historis. Meskipun kritik orientalis membuka ruang diskursus baru, banyak argumen mereka bersifat reduksionistik dan mengabaikan aspek internal tradisi keilmuan Islam seperti sistem sanad dan otoritas kolektif ulama. Oleh karena itu, pemahaman integratif yang menggabungkan pendekatan historis dan nilai-nilai normatif Islam diperlukan untuk memperkuat metodologi ushul fikih dalam konteks kekinian.