Penelitian ini mengkaji tentang penegakan hukum pidana pajak di Indonesia menghadapi dilema fundamental antara fungsi penerimaan negara (budgetair) dan fungsi penegakan keadilan. Secara teoretis, asas ultimum remedium berfungsi sebagai pedoman untuk menempatkan hukum pidana sebagai upaya terakhir. Melalui mekanisme Pemeriksaan Bukti Permulaan, doktrin yang lazimnya pasif ini diformalkan menjadi sebuah prosedur hukum yang menawarkan jalur penyelesaian alternatif bagi Wajib Pajak di luar sistem peradilan pidana. Namun dalam praktiknya, mekanisme ini melahirkan persoalan hukum yang signifikan. Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum Normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan data empiris mayoritas Wajib Pajak memilih jalur administratif, sebuah fakta yang mengindikasikan efektivitas mekanisme ini dalam memulihkan kerugian negara secara cepat. Artikel ini berargumen bahwa Bukti Permulaan yang secara teoretis menegakkan ultimum remedium, dalam praktiknya justru menciptakan sebuah paradoks. Analisis mendalam mengungkap bahwa Bukper berfungsi sebagai instrumen bifurkasi prosedural yang didorong oleh pragmatisme fiskal, salah satunya untuk mengatasi daluwarsa administratif. Desain ini menciptakan kondisi koersi prosedural yang secara de facto menggeser beban pembuktian kepada Wajib Pajak. Pada akhirnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa Bukti Permulaan telah berhasil mentransformasikan asas yang seharusnya menjadi obat terakhir menjadi ancaman pertama yang efektif, sebuah arsitektur hukum yang efisien bagi negara tetapi berisiko mengikis prinsip keadilan prosedural dan asas praduga tak bersalah.