Pendidikan secara ideal berfungsi sebagai sarana pembebasan manusia dari penindasan, kebodohan, dan ketidakadilan, sehingga mampu melahirkan individu yang kritis, otonom, dan berdaya. Namun praktik pendidikan di Indonesia, termasuk pada jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), masih kerap terjebak dalam pola pendidikan gaya bank sebagaimana dikritik Paulo Freire. Model tersebut tidak hanya mereduksi peserta didik menjadi wadah kosong, tetapi juga mempertahankan relasi kuasa yang menghambat proses humanisasi. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana gagasan pendidikan pembebasan benar-benar diimplementasikan secara nyata, bukan sekadar dikutip sebagai konsep normatif. Penelitian ini bertujuan menelaah relevansi dan implementasi pendidikan pembebasan menurut perspektif Freire di MI Ma’arif NU Karangklesem. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus melalui observasi kelas, wawancara, dan studi pustaka. Pendekatan ini dipilih untuk menangkap praktik pedagogis secara empiris, sehingga analisis tidak berhenti pada penilaian teoritis yang dangkal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian guru telah menerapkan unsur pendidikan dialogis, misalnya membuka ruang diskusi, memberi kesempatan siswa mengemukakan pendapat, serta mengaitkan materi dengan pengalaman konkret. Namun, penerapan tersebut belum merata dan cenderung sporadis. Praktik pendidikan gaya bank masih tampak pada mata pelajaran yang berorientasi hafalan atau dianggap “pakem”, sehingga pembelajaran berjalan satu arah dan minim dialog. Kondisi ini mengindikasikan bahwa transformasi pedagogis belum sepenuhnya terinternalisasi, baik karena kultur sekolah yang hierarkis maupun keterbatasan kapasitas guru. Temuan ini menegaskan perlunya penguatan komitmen dan kompetensi pedagogik untuk mendorong pembelajaran yang lebih humanistik dan membebaskan di MI.