Tunggawan, Edwin
Universitas Multimedia Nusantara

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

DAMPAK PENIADAAN PARALEGAL TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KELOMPOK MASYARAKAT MISKIN (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 P/HUM/2018) Martono, Jeffri Pri; Tunggawan, Edwin; Kenny, Kennedy
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i2.2689

Abstract

Providing legal assistance is a form of state responsibility for poor community groups as a manifestation of access to justice. This is a guarantee from the state to every person in order to gain recognition, guarantee, protection and legal certainty as a form of protection of human rights. The provision of legal assistance is a state obligation as ordered by the legislation stated in Article 54 of the Constitution of Republic of Indonesia Number 8 of 1981 concerning Criminal Code Procedure (hereinafter referred to as the Book of Constitution of Criminal Code Procedure / KUHAP), even reemphasized as mandatory in Article 56 of the KUHAP. However, the provision of legal assistance currently does not reach all Indonesian citizens due to the limited implementation of legal assistance itself. In effort to solve these limitations, the role of paralegals was brought forth to increase the provision of legal assistance to the poor. Post-emergence of the Decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 22 P / HUM / 2018 which cancels the role of paralegals stated in the Regulation of the Minister of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia Number 01 of 2018 concerning Paralegals in the Provision of Legal Aid has affected poor communities seeking justice. In this case the role of an advocate as an honorable profession which, in carrying out his/her profession, must be brought forward and moreover, it is an obligation in carrying out orders both from the constitution or the code of ethics for the advocate profession in order to provide free assistance after the removal of Article 11 and Article 12 Permenkumham On Paralegal, which has actually been previously regulated in Article 22 of the Advocate Law. Pemberian bantuan hukum merupakan bentuk tanggung jawab negara bagi kelompok masyarakat miskin sebagai perwujudan kepada akses keadilan. Hal ini merupakan jaminan dari negara terhadap setiap orang dalam rangka mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan dari pada hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum merupakan suatu kewajiban negara sebagaimana hal ini diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang dinyatakan dalam Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), bahkan ditekankan lagi sebagai hal yang wajib adanya dalam Pasal 56 KUHAP. Akan tetapi pemberian bantuan hukum saat ini belum menjangkau seluruh masyarakat Indonesia dikarenakan adanya keterbatasan pelaksanaan bantuan hukum itu sendiri. Dalam hal mengisi keterbatasan tersebut dimunculkan peran paralegal untuk meningkatkan pemberian bantuan hukum terhadap kelompok masyarakat miskin. Pasca munculnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 22 P/HUM/2018 yang membatalkan peran dari pada paralegal yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum telah memberikan dampak terhadap kelompok masyarakat miskin dalam mencari keadilan. Dalam hal ini peran advokat sebagai profesi terhormat yang dalam menjalankan profesinya harus dimunculkan dan apalagi hal tersebut merupakan suatu kewajiban dalam menjalankan perintah baik dari pada undang-undang maupun kode etik profesi advokat dalam rangka memberikan bantuan secara cuma-cuma setelah dicabutnya Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham Tentang Paralegal, yang sebenarnya telah diatur sebelumnya dalam Pasal 22 UU Advokat.
KEBERLAKUAN PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM MEMERINTAHKAN PENYIDIK UNTUK MENETAPKAN STATUS TERSANGKA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel.) Hutabarat, Rugun Romaida; Martono, Jeffri Pri; Tunggawan, Edwin; Kenny, Kennedy
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i2.2482

Abstract

Berdasarkan Pasal 77 Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Hukum Acara Pidana Indonesia menyatakan bahwa pengadilan negeri dapat melakukan persidangan praperadilan apakah penangkapan atau penahanan dilakukan secara legal. Pengadilan juga mengadili putusan eksklusif investigasi penuntutan. Keputusan sidang praperadilan nomor 24 / Pid / Pre / 2018 / PN.Jkt.Sel adalah terobosan, karena untuk pertama kalinya di Indonesia, hakim sidang praperadilan memutuskan bahwa untuk memerintahkan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengukuhkan status tersangka kepada Boediono, Muliawan D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan dalam kasus korupsi Bank of Century. Berdasarkan prinsip hukum, res judicata pro veritate habetur, keputusan hakim ditentukan benar, keputusan ini harus dilakukan tanpa kecualiUnder Article 77 of Law of The Republic Indonesia Number 8 of 1981 Concerning Criminal Procedure Law or Indonesia’s Code of Criminal Procedure stated that a district court can conduct pretrial hearing to determine whether an arrest or detention carried out legally. The court also adjudicate the proprietry of the cessation of an investigation prosecution. The pretrial hearing decision number 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel was the breakthrough, because for the first time in Indonesia, judge of the pretrial hearing decided that to order the investigator of the Corruption Eradication Commision to firm the suspect status to Boediono, Muliawan D Hadad, Raden Pardede and friends in the corruption case of the Bank of Century. Based on the law principal, res judicata pro veritate habetur, means that the judge decision is determined to be right, this decision has to be conducted with no exception.