Islam telah mensyariatkan adanya tiga kategori peradilan, sesuai dengan obyek masing-masing yang hendak diadili, yaitu qadha’ khushumat, hisbah dan madzalim. Qadha’ khushumat (peradilan sengketa), yang mengadili sengketa di tengah masyarakat. Di sana ada pihak penuntut, yang menuntut haknya, dan terdakwa sebagai pihak yang dituntut. Peradilan ini membutuhkan mahkamah (ruang sidang). Sedangkan Qadha’ hisbah, yang mengadili pelanggaran hukum syara’ di luar mahkamah, bukan karena tuntutan pihak penuntut, tetapi semata-mata karena pelanggaran. Seperti pelanggaran lalu lintas, parkir di jalan raya, penimbunan barang, penipuan harga (ghabn) dan barang (tadlis), dan lain-lain. Adapun Qadha’ madzalim, yang mengadili sengketa rakyat dengan negara, dan atau penyimpangan negara terhadap konsitusi dan hukum. Ketiga kategori peradilan ini, masing-masing mempunyai hakim. Seluruh lembaga ini kemudian dipimpin oleh seorang Ketua Hakim, yang lazim disebut Qadhi al-Qudhat. Jabatan ketua hakim ini pertama kali dibentuk oleh Khalifah Harun as-Rasyid, yang diserahkan kepada Qadhi al-Qudhat Abu Yusuf (182 H/798 M), mujtahid mazhab Hanafi, yang terkenal dengan karyanya, al-Kharaj. Adapun rumusan masalah dalam tulisan ini adalah apakah yang dimaksud dengan hakim dalam Islam, dan bagaimana perang dan fungsi hakim dalam sebuah negara? Sedangkan kesimpulannya bahwa suatu Negara akan tegak lurus sebagai suatu kesatuan yang utuh jika elemen pendukung dari negara tersebut dapat terisi dengan orang-orang yang kompeten di bidangnya tidak terkecuali sisi Qadhaiyyah atau peradilannya yang mesti diisi oleh Qadhi yang memenuhi syarat dan kriteria sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dan pelaksanaan Peradilan yang baik dan sesuai tuntutan Islam ini sangat relevan untuk diterapkan di negara manapun dan di negara yang berideologi apapun, karena banyak sekali kemaslahatan yang dijunjung tinggi oleh keberadaan peradilan Islam itu sendiri.
Copyrights © 2017