Penelitian Ini ditulis berdasarkan latar belakang pendapat ulama, bahwa menurut jumhur ulama suami yang tunawicara dibolehkan untuk melakukan li’an jika bisa dipahami maksudnya. Namun berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang tidak membolehkan li’an bagi suami yang tunawicara. Dalam penulisan penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengambil sumber data yang berasal dari kitab-kitab atau sumber lain yang berkenaan dengan pembahasan pada penelitian ini. Sedangkan dalam tehnik analisis data menggunakan metode deskriptif analitis dan metode conten analisis.Hasil penelitian menunjukkan, bahwasanya menurut Imam Abu Hanifah tidak ada li’an bagi suami yang tunawicara. Ini sesuai dengan yang tertulis di dalam salah satu kitabnya yaitu Badā’i al-Shanāi’ dan al-Mabasūth. Imam Abu Hanifah mengatakan syarat-syarat li’an salah satunya adalah harus bisa berbicara. Karena ketika seseorang yang berli’an itu tunawicara (bisu) maka tidak ada li’an dan tidak ada had. Karena Imam Abu Hanifah menggolongkan li’an ke dalam bentuk syahādah (kesaksian), bukan termasuk dalam bentuk yamīn (sumpah). Sehingga orang yang bisu tidak boleh berli’an karena orang bisu adalah orang yang kesaksiannya tidak dapat diterima atau bukan orang yang ahli bersaksi.Namun penulis kurang setuju dengan pendapat Imam Abu Hanifah, karena pendapat ini secara tidak langsung menyatakan bahwa orang bisu sebagai manusia yang tidak cakap hukum. Padahal ketika merujuk pada konsep mukallaf orang bisu termasuk seorang mukallaf. Sehingga dalam dirinya dapat dikenai taklif hukum dam perbuatan yang dilakukannya dapat menimbulkan akibat hukum. Syarat menjadi seorang mukallaf adalah mampu memahami dalil pentaklifan dan layak untuk dikenakan taklīf. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklīf hanyalah dengan kesempurnaan akal, dan kesempurnaan akal diukur dari kedewasaannya. Sehingga ketika orang bisu tersebut ber akal maka tidak ada alasan untuk mendiskreditkan hak-haknya dengan tidak bolehnya ia berli’an.
Copyrights © 2019