Dalam sisi kehidupan manusia, negara tidak mengatur tentang tata cara dan pelaksanaan di bidang perkawinan. Terutama dalam hal perkawinan beda agama. Akan tetapi ada beberapa masyarakat yang menempuh jalur yang tidak sesuai dengan aturan hukum, yakni mencatatkan perkawinan pada lembaga yang tidak memiliki kapasitas yang representatif untuk melakukan hal itu. Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah : “Mengapa Pencatatan Perkawinan Beda Agama Tidak Boleh Dilakukan Di Indonesia Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 ?â€. Tujuan Penelitian adalah : (1) Untuk menganalisis latar belakang larangan perkawinan beda agama dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014. (2). Untuk menganalisis pendapat pemerintah dan Ormas-ormas Islam yang menolak perkawinan beda agama dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014. Metode Penelitian yang digunakan yakni: Metode Penelitian Hukum Normatif, penelitian hukum terhadap data sekunder berupa penelitian kepustakaan (library search) berupa data primer, sekunder dan tersier, mencakup : (a) Penelitian terhadap asas-asas hukum. (b). Penelitian terhadap sistematika hukum. (c). Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum. (d). Penelitian sejarah hukum. (e). Penelitian Perbandingan Hukum. Namun dalam penelitian ini difokuskan pada asas-asas hukum. Kesimpulan : (1). UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan hidup dalam masyarakat. (2). Bahwa Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena sudah secara tegas dan jelas dalam mewujudkan adanya kepastian hukum perkawinan sehingga tetap memiliki kekuatan hukum mengikat maka permohonan para Pemohon tidak berdasarkan hukum dan oleh karena itu harus ditolak. Saran-saran : (1). Bahwa sudah selayaknya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk dapat dikaji kembali dan dipertimbangkan untuk melakukan perubahan agar menjadi Undang-Undang yang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional dan hak asasi semua warga negara. (2). Bahwa KUH Perdata dan UU No 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara khusus tentang Perkawinan Beda Agama maka kembali pada asas yang tumbuh dan berkembang pada praktek Mahkamah Agung. (3). Bahwa seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan Perkawinan Beda Agama yang mengacu pada asas hukum sang suami. Key word : Putusan, Mahkamah Konstitusi, Perkawinan Beda Agama.
Copyrights © 2016