Masalah pertanahan muncul, ketika kewenangan (hak mengusai negara) diperhadapkan dengan hak warga negara, khususnya hak milik Individu dan hak komunal yang memiliki kewenangan tunggal yang sangat besar untuk mengelelola, pembagian , penguasaan, pemanfaatan dan peruntukan tanah harus berhadapan dengan hak asasi yang melekat pada diri rakyatnya sendiri. Pengakuan kepemilikan tanah yang dikonkritkan dengan sertifikat sejak lama terjadi pada zaman sebelum kemerdekaan Demikian juga di negara lainnya seperti Inggris, sertifikat merupakan pengakuan hak-hak atas tanah seseorang yang diatur dalam Undang·Undang Pendaftaran Tanah (Land Registrations Act 1925). Di Indonesia, sertifikat hak-hak atas tanah berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1 dan 2)  Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data Yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Mengenai kekuatan hukum dalam status hak milik atas tanah, diperkuat dan ditegaskan dalam pasal 20 UUP, dinyatakan : Hak milik adalah turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan seringkali merugikan rakyat yang merupakan titik awal perebutan dalam sumber daya tanah. Mengetahui dan menyadari beberapa kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat , maka pemerintah melalui PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Dalam Pasal 1 Point 5 PP No. 36 tahun 1998, disebutkan bahwa “Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah†Kemudian dalam Pasal 3 ditegaskan kembali perihal tanah hak (Hak Milik, HGU,dan HGB serta Hak Pakai) dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya atau tidak dipelihara secara baik. Pasal ini mengulang bunyi pasal 27 UUPA. Perjalanan PP Nomor. 36 Tahun 1998, belum memberikan dampak terhadap penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, sehingga pada akhirnya dibuat produk hukum terbaru berbentuk Peraturan Pemerintah, yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor. 11 Tahun 2010, Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah terlantar, yang ditindak lanjuti dengan keputusan kepala Badan. Didalam PP Nomor. 11 tahun 2010 ini tidak ada salah satu pasalpun yang menyebutkan batasan tanah terlantar termasuk Pada Status Hak Milik, Hal ini merupakan sebuah kerancuan dimana Status Hak milim berdasarkan pasal 20 UUPA yang menyatakan status Hak milik adalah kuat tetapi dilain pihak dengan kondisi diterlantarkan dapat dibatalkan dengan sebuah Peraturan pemerintah yang setiungkat lebih rendah dari UUPA. Dasar pembentukan UUPA, ini adalah mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, mengatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat†dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terdapat dua kata yang menentukan, yaitu perkataan “dikuasai†dan “dipergunakanâ€. Perkataan “dikuasai†sebagai dasar wewenang Negara, Negara adalah badan hukum publik yang dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia biasa. Persoalan yang dapat dikemukakan adalah apakah dasar alasan sehingga Negara diberi kewenangan untuk menguasai tanah, sementara perkataan “dipergunakan†mengandung suatu perintah kepada Negara untuk menggunakan bagi sebesar-besamya kemakmuran rakyat, penguasaan atas tanah oleh Negara, diartikan sebagai pemberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat Indonesia. Konsekuensinya, Negara berhak campur tangan disektor agraria, sehingga hak atas tanah tidak terlepas dari hak menguasai Negara. Demi kepentingan nasional misalnya, Negara dapat mengendalikannya, Prof. Dr. Yusriadi Sebagai tindak lanjut dari pasal tersebut, berkenaan dengan tanah terlantar dan dilihat secara filosofis “tanah terlantar†sangat bertentangan dengan asas yang menentukan bahwa tanah merupakan asset atau modal, bahkan tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang tidak akan habis, tanah berfungsi untuk mensejahterakan kehidupan manusia, sehingga tanah harus digunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, oleh sebab itu mengabaikan kewajiban menggunakan, mengelola dengan benar dalam hal ini sesuai dengan haknya merupakan tindakan pelanggaran terhadap fungsi sosial dan pengingkaran filosofis tanah Kesadaran akan kedudukan istimewa tanah dalam alam pikiran bangsa Indonesia juga terungkap dalam UUPA yang menyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah, namun kata “dikuasai†Pasal 33 UUD 1945 tidak menunjukan Negara adalah pemiliknya, Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum, dinyatakan bahwa Negara (pemerintah) hanya menguasai tanah. Pengertian tanah “dikuasai†seperti tersebut diatas bukan berarti memiliki, tetapi kewenangan tertentu yang diberikan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan, Hal ini dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA Hak adalah kepentingan yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kejelasaan yang dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. Dengan demikian, apa yang dinamakan hak itu sah apabila dilindungi oleh sistem hukum.[1] Pemegang hak melaksanakan kehendak menurut cara tertentu dan kehendaknya itu diarahkan untuk memuaskan. Pada bagian lain, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, hak merupakan hubungan hukum antara subjek hak déngan objek hak, karéna hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum Kemerdekaan Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, merupakan batas akhir berlakunya tata hukum, yang oleh Prof. Dr. Ahmad Sanusi, SH., mengatakan bahwa Hukum yang berlaku sekarang di sini ia menerangkan seluruh hukum dari berbagai cabangnya yang kini berlaku di Indonesia, dan yang berlakunya baik itu atas semua orang, maupun atas golongan-golongan penduduk tertentu.[1] artinya beralihnya tata hukum Kolonial kepada tata hukum Indonesia, tetapi untuk proses pembentukan hukum sebagai pengganti hukum Kolonial, tidak secepat apa yang diharapkan, karena proses pembentukan hukum yang menjadi tata hukum tidak semudah apa yang dipikirkan, oleh karena itu Melalui Peraturan Peralihan Pasal II, UUD Tahun 1945, â€Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini†memahami hal tersebut dengan maksud mengisi kekosongan hukum, seperti disebutkan Pasal II Aturan Peralihan. Dengan demikian atas dasar tersebut, produk hukum lama masih tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Falsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD tahun 1945. Pada era inilah terjadi perubahan politik agraria nasional. Pemerintah sekarang tidak lagi berangkat dari paradigma UUPA, akan tetapi memaknai paradigma UUPA yang neo populis tersebut yang menyatakan bahwa “tanah itu digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rakyatâ€, dengan paradigma “Sumber-sumber agraria adalah komoditasâ€. Tanah dalam hal ini telah dirubah dari memiliki karakter sosial, menjadi masuk dalam skema pasar tanah Keyword : Peraturan yang lebih rendah tingkatannya
Copyrights © 2014