Tulisan ini mengetengahkan epistemologi tafsir isyari. Di dalamnya, menjelaskan bagaimana kaum sufi, yang diklaim sebagai “pemilik” tafsir isyari ini, mendapatkan pengetahuan tafsirnya. Mereka berusaha melampaui indera dan akalnya, karena keduanya hanya menyentuh wilayah lahiriyah danmanifestasinya. Sebaliknya manusia dengan memaksimalkan dimensi batinnya, mereka dapat berhubungan secara langsung dengan hakikat tunggalalam ketika hati mereka suci, dan lepas dari segala bentuk ikatan dan ketergantungan lahiriyah. Dengan pendekatan intuitif, para sufi berupaya mengungkap makna tersembunyi dari teks al-Qur’an. Abu Zaid membedakan epistemologi tafsir isyari dengan tafsir esoterik. Jika yang kedua menggunakan perangkat takwil yang dihasilkan akal, biasanya diproduksi kalangan teolog dan filosof. Sedangkan yang pertama menggunakan takwil yang dihasilkan dzawq (rasa, hati), diproduksi kalangan sufi. Klaim yang mengemuka bahwa Allah melimpahkan kepada para sufi ilmu yang belum pernah mereka ketahui, melalui tahap riyadhah dan kebersihan hati, apakah benar adanya? Ignaz Godziher mengkritiknya, bahwa penafsiran sufi bukan pengetahuan yang bersifat given, ilmu yang berasal dari Tuhan, tetapi berasal dari olah pikiran dan nalar yang sengaja untuk membenarkan (mencari pembenaran) ajaran tasawuf (ideology oriented).
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2019