Tahlillan according to Nahdliyin is religious activities that can strengthen social ties. On the contrary, for the Muhammadiyah community in Kotaghede, tahlilan became the trigger for conflict. This conflict is interesting to observe because it occurs not between Nahdliyin and Muhammadiyah communities, but occurs in the Muhammadiyah community itself, between those who disagreed and who practiced it. This article finds out how the conflict occurred related to the understanding of Islam and local culture. This finding is based on the observation of the four groups involved. First, Muhammadiyah and Nahdliyin communities that practiced tahlilan; second, the Muhammadiyah community that opposes it; third, Muhammadiyah community in Kotagedhe who agreed and practiced the tahlilan, and fourth, Nahdliyin community who commented on it.* * *Tahlilan bagi masyarkat Nahdliyin adalah aktivitas keagamaan yang mampu memperkuat ikatan sosial. Namun sebaliknya bagi masyarakat Muhammadiyah di Kotaghede, tahlilan menjadi pemicu konflik. Konflik ini menarik untuk diamati karena terjadi bukan antara masyarakat Nahdliyin dan Muhammadiyah, akan tetapi terjadi pada masyarakat Muhammadiyah sendiri, antara yang tidak setuju dan yang melaksanakannya. Artikel ini menemukan bagaimana konflik itu terjadi terkait dengan pemahaman Islam dan budaya lokal. Temuan ini berdasarkan pada pengamatan terhadap empat kelompok yang terlibat; pertama, masyarakat Muhammadiyah dan Nahdliyin yang menjalankan tahlilan; kedua, masyarakat Muhammadiyah yang menentangnya; ketiga masyarakat Muhammadiyah di Kotagedhe yang setuju dan menjalankan tahlilan, dan keempat masyarakat nahdliyin yang memberikan komentar.
Copyrights © 2017