cover
Contact Name
Mochammad Maola
Contact Email
maola@walisongo.ac.id
Phone
+6285848304064
Journal Mail Official
jish@walisongo.ac.id
Editorial Address
Jalan Walisongo No. 3-5 Semarang Jawa Tengah, Indonesia Phone/Fax. +6224 7614454 Email: jish@walisongo.ac.id
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Journal of Islamic Studies and Humanities
ISSN : 25278401     EISSN : 2527838X     DOI : https://doi.org/10.21580/jish
Journal of Islamic Studies and Humanities (JISH) intends to publish a high-standard of theoretical or empirical research articles within the scope of Islamic studies and humanities, which include but are not limited to theology, mysticism, cultural studies, philology, law, philosophy, literature, archaeology, history, sociology, anthropology, and art. All accepted manuscripts will be published both online and in printed forms.
Articles 164 Documents
Urgensi Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Kitab Al-Arba’īn Al-Nawawiyyah bagi Perkembangan Kualitas Pendidikan Indonesia Muntakhib, Ahmad
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (783.783 KB) | DOI: 10.21580/jish.21.2515

Abstract

Education is the most effective method for the internalization of character values. The most applicable character values are the values in the hadith of Muhammad. one of the books that discuss the hadith of the Prophet is the book of Al-Arba'īn al-Nawawiyyah. This study is intended to discuss what are the values of character education in Kitab Al-Arba'īn al-Nawawiyyah. Hadiths in Al-Arba'īn al-Nawawiyyah have been analyzed by using content analysis with hermeneutic method. Studies show that the book Al-Arba'īn al-Nawawiyyah contains the values of character education that emphasize the human relationship with God, either directly or indirectly. The values of character education contained in the book Al-Arba'īn al-Nawawiyyah include: obedient, able to control oneself, leave something dubious, have shame, leave useless deeds, love fellow Muslims like love himself, keep oral and glorify neighbors and guests, believe and istiqamah, zuhd, and do not procrastinate the work.* * *Pendidikan merupakan metode paling efektif untuk internalisasi nilai-nilai karakter. Nilai-nilai karakter yang paling aplikatif adalah nilai-nilai dalam hadis nabi Muhammad. salah satunya kitab yang membahas hadis nabi adalah kitab Al-Arba’īn al-Nawawiyyah. Kajian ini dimaksudkan untuk membahas apa saja nilai-nilai pendidikan karakter dalam Kitab Al-Arba’īn al-Nawawiyyah. Hadis-hadis dalam kitab Al-Arba’īn al-Nawawiyyah telah dianalisis dengan menggunakan content analysis dengan metode hermeneutik.  Kajian menunjukkan bahwa kitab Al-Arba’īn al-Nawawiyyah mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yang menekankan pada hubungan manusia dengan Allah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam kitab Al-Arba’īn al-Nawawiyyah meliputi: taat, mampu mengendalikan diri, meninggalkan sesuatu yang meragukan, mempunyai rasa malu,  meninggalkan perbuatan yang tidak berguna, mencintai sesama muslim seperti mencintai dirinya sendiri, menjaga lisan dan memuliakan tetangga dan tamu,  beriman dan istiqomah, zuhud, dan tidak menunda-nunda pekerjaan. 
Media dan Demokrasi di Era Global: Studi Dakwah Islam Kontemporer di Indonesia Rachmawati, Farida
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (450.4 KB) | DOI: 10.21580/jish.22.2521

Abstract

Globalization has affected all the cultural subsystems of today's society, especially in media. How Islamic da’wa opportunities in the midst of media globalization is the focus of this article. Library studies have been used in this study. The result shows that Islamic da’wa is in the marginal position and has not been able to become a major player. There are four opportunities that can be used in preaching Islam in the era of media globalization. First, the freedom of information media is filled with enhancing creativity in making Islamic content more interesting and reflecting Islam's rahmatan lil 'alamin. Secondly, Islamic missionary media participated in the formation of public opinion. Third, the education of Muslims based on morality. Muslims must be faithful to the teachings of religion and consistent with the religious ideal. Fourth, to maximize the source of Islamic capitalism such as zakat, as a tool to achieve the welfare of all people.* * *Globalisasi telah memengaruhi semua subsistem budaya masyarakat saat ini, terlebih di bidang media. Bagaimana peluang dakwah Islam di tengah globalisasi media merupakan fokus dari artikel ini. Studi kepustakaan telah digunakan dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa posisi dakwah Islam berada di posisi terpinggirkan dan belum mampu menjadi pemain utama. Terdapat empat peluang yang bisa digunakan dalam berdakwah Islam di era globalisasi media. Pertama, kebebasan media informasi diisi dengan meningkatkan kreativitas dalam membuat konten-konten Islami yang lebih menarik dan mencerminkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Kedua, media dakwah Islam Ikut serta menjadi pemain dalam pembentukan opini publik. Ketiga,  pendidikan umat Islam berbasis  moralitas. Muslim  harus setia pada ajaran agama dan konsisten terhadap idealitas agama. Keempat, mendayagunakan secara maksimal sumber kapitalisme Islam seperti zakat, sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan seluruh umat. 
Naqd Al-Hadits sebagai Metode Kritik Kredibilitas Informasi Islam Malik, Hatta Abdul
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1701.965 KB) | DOI: 10.21580/jish.11.1373

Abstract

One of the main problems of the information age is how to get the information that would be credible. The issues outlined in this paper, is how naqd al-hadith as a method of criticism credibility of information. The method was used deductive, by discussing the theory of the credibility of the information developed at this time, then discuss the concept of credibility of information on Islam, namely ulum al-hadith, then offered naqd al-hadith as a method of criticism credibility of information. The results showed that naqd al-hadith can be used as a method of credibility of the information at this time.* * *Salah satu problematika utama era informasi ini adalah bagaimana mendapatkan informasi yang dapat dipercaya kebenarannya (kredibel). Persoalan yang diurai dalam tulisan ini, adalah bagaimana naqd al-hadits sebagai metode kritik kredibilitas informasi. metode yang digunakan adalah deduktif, dengan mendiskusikan teori kredibilitas informasi yang berkembang pada saat ini, kemudian mendiskusikan konsep kredibilitas informasi dalam Islam, yaitu ‘ulum al-hadits, kemudian menawarkan naqd al-hadits sebagai metode kritik kredibilitas informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naqd al-hadits dapat digunakan sebagai metode kredibilitas informasi pada saat ini. 
Pengaruh Mazhab Mufassir Terhadap Perbedaan Penafsiran Atabik, Ahmad
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (628.852 KB) | DOI: 10.21580/jish.21.2516

Abstract

This article explores the influence of aqidah and fiqh mazhab or sect in different interpretations. The interpreters prefer using the word ikhtilaf to be juxtaposed with interpretation. Ibnu Taimiyah mentions an article ikhtilaf al-salaf fi al-tafsir in the book Muqaddimah fi Usul al-Tafsir and the other scholars' works. The interpretation difference is divided into two parts, variative difference (tanawwu') and contradictory disputes (tadad). Both of those interpretation difference forms occured among the scholars, but in terms of difference (contradictory) quantity is relative small. In this article, it is found that mazhab mufassir often influence their interpretation result. Affiliation of mazhab fiqh is very influencial on an interpreter's interpretation. The affiliation of kalam also influences a mufassir in interpreting the verses of the Qur'an. The influence of this difference leads to various interpretation and enriches the scientific treasures in Islamic religion.* * *Artikel ini mengeksplorasi tentang pengaruh mazhab aqidah dan fiqih dalam perbedaan penafsiran. Para ahli tafsir lebih memilih penggunaan kata ikhtilaf untuk disandingkan dengan penafsiran. Semisal, Ibnu Taimiyah menyebut sebuah pasal ikhtilaf al-salaf fi al-tafsir dalam kitab Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, serta karya ulama-ulama lainnya. Perbedaan penafsiran dibagi menjadi dua bagian, yakni perbedaan variatif (tanawwu’), dan perselisihan kontradiktif (tad}a>d). Kedua bentuk perbedaan penafsiran itu, terjadi dikalangan para ulama, namun dari segi kuantitasnya perbedaan (kontradiktif) relatif kecil. Dalam artikel ini, ditemukan bahwa mazhab mufassir seringkali mempengaruhi hasil penafsirannya. Afiliasi terhadap mazhab fiqih sangat berpengaruh pada penafsiran seorang penafsir. Begitu juga, afiliasi terhadap mazhab kalam juga sangat mempengaruhi seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga, pengaruh perbedaan ini menyebabkan banyaknya penafsiran yang beragam dan memperkaya khazanah keilmuan dalam agama Islam.
Tahlilan Muhammadiyah: Analisis Konflik Sosial Masyarakat Kotagedhe Yogyakarta Aslamah, Sayyidah
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (56.945 KB) | DOI: 10.21580/jish.22.2522

Abstract

Tahlillan according to Nahdliyin is religious activities that can strengthen social ties. On the contrary, for the Muhammadiyah community in Kotaghede, tahlilan became the trigger for conflict. This conflict is interesting to observe because it occurs not between Nahdliyin and Muhammadiyah communities, but occurs in the Muhammadiyah community itself, between those who disagreed and who practiced it. This article finds out how the conflict occurred related to the understanding of Islam and local culture. This finding is based on the observation of the four groups involved. First, Muhammadiyah and Nahdliyin communities that practiced tahlilan; second, the Muhammadiyah community that opposes it; third, Muhammadiyah community in Kotagedhe who agreed and practiced the tahlilan, and fourth, Nahdliyin community who commented on it.* * *Tahlilan bagi masyarkat Nahdliyin adalah aktivitas keagamaan yang mampu memperkuat ikatan sosial. Namun sebaliknya bagi masyarakat Muhammadiyah di Kotaghede, tahlilan menjadi pemicu konflik. Konflik ini menarik untuk diamati karena terjadi bukan antara masyarakat Nahdliyin dan Muhammadiyah, akan tetapi terjadi pada masyarakat Muhammadiyah sendiri, antara yang tidak setuju dan yang melaksanakannya. Artikel ini menemukan bagaimana konflik itu terjadi terkait dengan pemahaman Islam dan budaya lokal. Temuan ini berdasarkan pada pengamatan terhadap empat kelompok yang terlibat; pertama, masyarakat Muhammadiyah dan Nahdliyin yang menjalankan tahlilan; kedua, masyarakat Muhammadiyah yang menentangnya; ketiga masyarakat Muhammadiyah di Kotagedhe yang setuju dan menjalankan tahlilan, dan keempat masyarakat nahdliyin yang memberikan komentar.
Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqasid Shariah Rohman, Holilur
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1701.933 KB) | DOI: 10.21580/jish.11.1374

Abstract

An ideal marriage is a marriage that able to achieve the goal of becoming a family wedding sakinah, mawaddah warahmah. Al-Quran and Sunnah did not explain in detail about the limitations of marriageable age. There are three perspectives on the age limit to get married in Indonesia, first, the perspective of Islamic law, the second law No. 1 in 1974 allow a woman to get married at the age of 16 and men at age 19, the third, BKKBN which advocated age at marriage ideal namely the minimum age for women 21 years and for men 25 years old.But in different perspective, the ideal age of marriage maqasid shariah perspective for women 20 years and for men 25 years, because at this age considered to have been able to realize the goal wedding (maqasid shariah) such as: creating a family sakinah mawaddah wa rahmah, keeping the lineage, maintaining the pattern of family relationships, maintaining diversity and deemed ready in terms of economic, medical, psychological, social, religious.* * *Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang mampu mencapai tujuan pernikahan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Al-Qur’an dan as-Sunnah menjelaskan secara rinci tentang batasan usia menikah. Ada tiga perspektif mengenai batas usia menikah di Indonesia, pertama, perspektif hukum Islam, kedua, undang-undang no 1 1974 mengijinkan seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun dan laki-laki pada usia 19 tahun, ketiga, BKKBN yang menganjurkan usia kawin yang ideal yaitu usia minimal bagi perempuan 21 tahun dan bagi laki-laki 25 tahun.. Akan tetapi usia ideal perkawinan perspektif maqasid shari’ah adalah bagi perempuan 20 tahun dan dan bagi laki-laki 25 tahun, karena pada usia ini dianggap telah mampu merealisasikan tujuan-tujuan pensyariatan pernikahan (maqasid shari’ah) seperti: menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, menjaga garis keturunan, menjaga pola hubungan keluarga, menjaga keberagamaan dan dipandang siap dalam hal aspek ekonomi, medis, psikologis, sosial, agama. 
Penafsiran Ṭāhir Ibn ‘Āsyūr Terhadap Ayat-ayat tentang Demokrasi: Kajian atas Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr Nikmah, Lutfiyatun
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/jish.21.2517

Abstract

This study explains Ibn ‘Āsyūr interpretation of the verses about democracy in the Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr with historical approach. Some of the issues explained include democratic relations with Islam, democratic practices in Muslim countries, acceptance of Ibn ‘Āsyūr on the existential principles of democracy namely the principle of freedom, equality, and popular sovereignty. This thesis finds that there is a difference between liberal democracy and Islamic democracy where freedom in Islam is restricted as long as its actions do not harm others. In Islam there is a supreme source that can not be changed by the will of the people ie shari'a law as applied qiṣās. The decision-making is based on quality (opinions that are more directed to the goal) while the technique is not standardized. Relation of state and religion according to Ibn ‘Āsyūr is integrative in terms of rejecting secularization between the two.* * *Penelitian ini menjelaskan penafsiran Ibn ‘Āsyūr tentang ayat-ayat tentang demokrasi dalam tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr dengan pendekatan sejarah. Isu yang akan dipaparkan di antaranya hubungan demokrasi dengan Islam, praktek demokrasi di negara muslim, penerimaan Ibn ‘Āsyūr mengenai prinsip-prinsip eksistensial demokrasi yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan kedaulatan rakyat. Tesis ini menemukan bahwa terdapat perbedaan antara demokrasi liberal dan demokrasi Islam dimana kebebasan dalam Islam dibatasi selama tindakannya tidak membahayakan orang lain. Dalam Islam ada sumber tertinggi yang tidak dapat diubah oleh kehendak rakyat yakni hukum syari’at seperti diterapkannya qiṣās. Adapun pengambilan keputusan didasarkan pada kualitas (pendapat yang lebih mengarah kepada tujuan) sedangkan tekniknya tidak dibakukan. Hubungan negara dan agama menurut Ibn ‘Āsyūr adalah integratif dalam artian menolak sekularisasi di antara keduanya.
Urgensi Jurnalistik Islam dalam Dakwah di Media Baru Fitri, F
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/jish.22.2523

Abstract

The growth of mass media over time continues to grow and complex. The use of the term journalism or the press also continues to expand to include a broader meaning. Advances in communication technology create new journalism. Press or journalism with new media/internet is a channel of information dissemination that is effective and efficient. Islamic Journalism is part of national journalism in general. The presence of Islamic journalism other than as an agent of information dissemination and educators is dawah using writing. This article reviews the role of Islamic Journalism as a dawah in new media. The author analyzes the contents of the news text by taking samples on the Islamic sites are eramuslim.com and islampos.com. The result is both the site eramuslim.com and islampos.com can apply Islamic journalism, but less emphasize open attitude to the differences of understanding.* * *Pertumbuhan media massa dari waktu ke waktu terus berkembang dan kompleks. Penggunaan istilah jurnalisme atau pers juga terus berkembang mencakup makna yang semakin luas. Kemajuan teknologi komunikasi menciptakan jurnalisme baru. Pers atau jurnalisme dengan media baru (internet) merupakan saluran penyebaran informasi yang cukup efektif dan efisien. Jurnalistik Islam merupakan bagian jurnalistik nasional pada umumnya. Kehadiran jurnalisme atau jurnalistik Islam selain sebagai agen penyebar informasi, dan pendidik merupakan dakwah dengan tulisan. Artikel ini mengulas Peran Jurnalistik Islam sebagai dakwah di media baru. Penulis menganalisis isi teks berita dengan mengambil sampel pada situs Islam yaitu eramuslim.com dan islampos.com. Hasilnya baik situs eramuslim.com dan islampos.com dapat menerapkan jurnalistik Islam, namun kurang menonjolkan sikap terbuka bagi perbedaan paham.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid dalam Perspektif Dakwah Nabi saw. Nurjamilah, Cucu
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 1, No 1 (2016)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1701.941 KB) | DOI: 10.21580/jish.11.1375

Abstract

Da’wah of social empowerment is the real action in order to make the improvements. Historically, da’wah in the form of social empowerment based on mosque has been portrayed by the Prophet in the Nabawi Mosque Madinah. Muhammad saw. has successfully repaired and changed the conditions of the Medina people into a new powerfull society. Forms of empowerment included empowering spiritual aspect, social (of unity and equality), education, economics, politics and defense. The steps in empowerment, was to grow and to build the spiritual potential of Tawheed communities, providing access to (social institutions) building a mosque, made peace agreement with the various parties, established markets around the mosque, formed and trained defense forces, and togetherness.Dakwah pemberdayaan masyarakar merupakan gerakan dakwah yang bersifat tindakan nyata, guna mewujudkan perubahan. Secara historis, dakwah dalam bentuk pemberdayaan masyarakat berbasis masjid telah diperankan oleh Rasulullah saw. di Masjid Nabawi Madinah. Nabi telah mampu memperbaiki dan mengubah kondisi masyarakat Madinah dan sekitarnya menjadi sebuah masyarakat baru yang maju dari semua sisi. Bentuk pemberdayaan yang dilakukan meliputi pemberdayaan dalam aspek spiritual, aspek sosial (persatuan dan kesetaraan), pendidikan, ekonomi, politik dan pertahanan. Adapun langkah yang ditempuh dalam melakukan pemberdayaan, adalah menumbuhkan dan mem­bangun potensi spiritual Tauhid masyarakat, menyediakan akses (pra­nata sosial) dengan: membangun masjid, membuat perjanjian damai dengan berbagai pihak, mendirikan pasar di sekitar masjid, membentuk dan melatih pasukan pertahanan, dan kebersamaan.
Konsep Keberagaman Muhajirin dan Anshar Kurniawan, Mahda Reza
Journal of Islamic Studies and Humanities Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : UIN Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (521.585 KB) | DOI: 10.21580/jish.21.2518

Abstract

Muhajirin and Anshar were the mesangger’s sahabat whom God praised of eminence to Rasulullah saw. who positioned them high as they were the elements of ahlus sunnah wal jamaah. If believers want to get the safety position in the day after or in the future, they should follow Muhajirin and Anshar beside Rasullah saw.. For those reasons understanding the frame of diversity is very necessary for us. Based on the historical report, Muhajirin and Anshar were not only the speculative concept but the real fact of history. Their empirical practice of religiosity was completely based on their implementation of Islamic preaching in a concrete space and time. From this empirical based we can see or find the fundamental frame of their future or eminence. It consists of the ability to adjust the preaching of religion in coordinate space and time. The theoretical frame from the eminence and future is shown in the technical religiosity they did.* * *Muhajirin dan Anshar adalah kelompok sahabat yang memperoleh pujian keutamaan dari Allah swt.. Rasulullah Saw. juga menempatkannya pada posisi sangat tinggi karena merupakan unsur ahl as-sunnah wa al-jama’a>h sebagai firqah an-najiyyah. Apabila orang beriman di kemudian hari ingin memperoleh keselamatan serupa maka harus mengikuti Muhajirin dan Anshar di samping Rasulullah saw.. Oleh karena itu, memahami kerangka keberagamaan mereka sangat diperlukan. Berdasar atas laporan sejarah, Muhajirin dan Anshar bukan semata-mata konsep spekulatif semata akan tetapi merupakan kenyataan sejarah. Basis empiris praktik keberagamaan mereka sepenuhnya didasarkan pada pelaksanaan ajaran agama Islam dalam ruang waktu yang konkret. Di dalam basis empiris tersebut dapat ditemukan kerangka dasar keutamaan mereka. Kelebihan tersebut terdiri atas kemampuan untuk menyesuaikan praktik ajaran agama dengan koordinat ruang waktu di sekitarnya. Rumusan teoritis kelebihan tersebut terletak pada teknik keberagamaan yang mereka lakukan.

Page 1 of 17 | Total Record : 164