Keluarnya UU 29/2004 tentang PraktikKedokteran (UU Praktik Kedokteran) makinmenegaskan perspektif hukum praktikkedokteran setelah pengaturan dalam UU 23/1992 tentang Kesehatan. Lebih spesifik, olehUU Praktik Kedokteran, ikhwal rahasiakedokteran makin ditampakkan normahukumnya, khususnya aspek hukum pidananya,sehingga dapat dikatakan terjadi kriminalisasi.Di sisi lain, terdapat ruang yang makin longgarbagi terbukanya rahasia kedokteran. Hanya sajasoal rahasia kedokteran diatur secara (sangat)sumir dalam UU Praktik Kedokteran.Dibandingkan dengan yang ada di Californiasebagai misal, diatur secara lebih kompleksdalam “Confidentiality of Medical InformationAct yang merupakan bagian dari “CaliforniaCivil Codeâ€, khususnya terdapat dalam“Section 56-56.16â€. Pengaturan secara lebihdetail dalam tata hukum Indonesia, dijanjikanpengaturannya melalui Peraturan Menteri.Pasal 48 ayat (3) UU Praktik Kedokteran:Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasiakedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.Pengaturan yang sangat sumir membukapeluang terjadinya persoalan-persoalan hukumsebagai akibat pengaturan yang tidak jelas atautidak ada pengaturannya. Dalam teori hukum,bahkan praktik hukum, sebenarnya bukanpersoalan yang terlalu signifikan karena dalammenghadapi situasi seperti itu dapat diterapkanmetode “interpretasi†atau penafsiran untukmengategorisasi suatu perbuatan sebagaitindak pidana atau perbuatan melanggar hukum(onrechmatige daad). Meski demikian, sebagaisuatu aturan hukum, terutama dalam carapandang normatif-positifistik, seyogianyamengandung atau menentukan standarperilaku. Sehingga, warga masyarakat ataukomunitas kedokteran yang menjadi adresatketentuan tersebut dapat dengan mudahmengidentifikasi tindakan-tindakan yangtercakup di dalamnya dan tindakan-tindakanyang dikeluarkan atau tidak termasuk dalamrumusan tersebut.
Copyrights © 2016