Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran konstruksi budaya collectivism untuk mengoptimalkan pertanian jagung. Budaya collectivism merupakan prilaku sosial yang mengedepankan capaian kelompok dari pada capaian individu (individual’s goals). Dalam konteks ini, sistem budaya collectivism ini telah menyatukan persepsi masyarakat akan pentingnya gotong royong dari pada sistem upah misalnya dan juga merekatkan ikatan emosional (emotional attachment) antar individu, mendorong terciptanya concerns bersama, serta social sharing. Begitu nilai-nilai budaya ini tidak lagi menjadi landasan perilaku keseharian mereka, maka kegiatan bertani jagung hanya bisa dikategorikan sebagai pekerjaan yang semata-mata berkaitan dengan peluh dan lelah saja. Dengan demikian, bukanlah sesuatu yang mengherankan ketika tren masyarakat setempat saat ini cendrung mencari alternatif lain selain bertani jagung untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara lahan desa, secara geografis, sangat mendukung untuk pengembangan pertanian jagung. Penelitian ini menggunakan pendekatan purposive/judgement sampling dengan metode interview. Pendekatan purposive/judgment sampling berarti peneliti menggunakan kriterianya sendiri untuk menentukan sampel yang akan terlibat dalam penelitian. Selain itu, pemanfaatan teknologi recording juga dilakukan untuk antisipasi data hilang dan memudahkan peneliti untuk me-recall data saat analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi budaya collectivism yang meliputi pemberian dha’erran (makanan) serta jokes (candaan) berasosiasi positif dengan kegiatan bertani jagung. Melalui konstruksi budaya ini concerns bersama dan social sharing dapat terbangun kembali. Dengan demikian, hasil pertanian jagung bisa optimal dan keinginan mereka untuk tetap bertani tetap terjaga.
Copyrights © 2020