Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam secara khusus mengatur tentang akibat hukum perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak) saja. Berdasarkan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam tersebut pada umumnya hakim tidak menghukum suami untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah. Namun dalam putusan perkara nomor 318/Pdt.G/2020/PA.Mtp, Majelis Hakim mengadili putusan perkara cerai gugat menggunakan hak ex officio nya dan menghukum kepada tergugat (suami) untuk membayar nafkah Iddah dan mut’ah meskipun penggugat (istri) tidak menuntut hal tersebut dan tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam pemberian mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara cerai gugat dan mengetahui bagaimana analisis yuridis terhadap putusan perkara tersebut. Metodologi yang digunakan yakni yuridis normatif dengan membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual kemudian dianalisa secara kualitatif yuridis sehingga dapat memberikan jawaban atas permasalahan tersebut. Adapun hasil analisanya antara lain : 1) Penerapan hak ex officio hakim dengan menghukum suami untuk membayar mut’ah dan nafkah iddah kepada mantan istri pada perkara 318/Pdt.G/2020/PA.Mtp tersebut telah sesuai berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 149 huruf a Kompilasi Hukum Islam namun demikian hakim menjatuhkan putusan melebihi apa yang dituntut sehingga menyimpangi ketentuan yang diatur pada Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189 ayat (3) RBg dan melanggar asas ultra petita. 2) Penjatuhan amar putusan dengan pembebanan terhadap tergugat untuk membayar nafkah iddah, mut’ah dan nafkah anak yang menimbulkan kewajiban kepada tergugat seharusnya mempertimbangkan kehadiran mantan suami dan kemampuan serta kebutuhan kehidupan yang layak bagi tergugat, sebagaimana asas audi et alteram partem dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga tidak berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan (illusoir).
Copyrights © 2020