Artikel ini bertujuan untuk menganalisa dominasi prefensi dalil syair yang diadopsi Si>bawayh dalam konteks formulasi kaidah nahwu. Argumen ini didasari atas fakta yang menunjukkan bahwa pada setiap tema pembahasan nahwu yang dikonstruksi Si>bawayh dalam karyanya, selalu dilegitimasi dengan dalil syair (shawa>hid al-nah}w al-shi‘riyyah). Namun demikian, polemik posisi syair sebagai produk budaya verbal masyarakat Arab, mengundang perdebatan tajam disebabkan adanya diferensiasi interpretasi di kalangan ahli nahwu akan validitas dan otoritas syair yang layak diadopsi oleh Si>bawayh dalam proses pembukuan dan pembakuan kaidah nahwu. Dalam konteks tersebut, penulis hendak memaparkan argumentasi rasional, mengapa Sibawayhi lebih cenderung mengunggulkan syair ketimbang hierarki otoritas dalil nahwu yang lainnya. Perdebatan posisi syair di kalangan sarjana nahwu, berimplikasi melahirkan beragam ijtihad linguistik yang dapat dijadikan sebagai fondasi epistemologi dalam pengembangan disiplin ilmu nahwu. Kecendrungan mengadopsi syair dalam perumusan kaidah nahwu, menggambarkan trend dan distingsi tersendiri bagaimana konstruk nalar lingguistik Si>bawayhi terbangun. Trend kajian liguistiknya, seakan menitik beratkan typologi berpikir antropo lingusitik sentrik, prototype nalar linguistik demikian banyak dijumpai dalam magnum opusnya “al-Kita>b” dikenal “al-Qu’a>n al-Nah}w” adalah karya monumental sepajang sejarah kajian nahwu. Dalam tulisan ini, analisis dan pembacaannya menggunakan teksto-linguistik merupakan bagian dari ilmu lingustik diperkuat dengan analisis historis. selanjutnya data dianalisis secara deskriftik analitik untuk dapat menyajikan perspektif ulama nahwu secara komprehensif tentang otoritas syair dalam perumusan kaidah nahwu.
Copyrights © 2020