Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kaidah falsafah bhinci-bhinci kuli pada masyarakat Buton dalam membangun pendidikan karakter. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sumber data penelitian adalah masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, guru, dan pemerintah daerah. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen dengan key instrument adalah peneliti sendiri. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis Miles dan Huberman yaitu: reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) bhinci-bhinciki kuli dalam bahasa wolio terdiri dari kata bhinci-bhinciki artinya cubit-cubit dan kuli artinya kulit. Jadi bhinci-bhinciki kuli artinya cubit-cubit kulit yang mengandung makna bahwa cubit diri sendiri sebelum mencubit orang lain. Kalau anda mencubit diri anda merasa sakit, maka ketika anda mencubit orang lain juga merasakan sakit. Melalui falsafah bhinci-bhinciki kuli ini dapat dimaknai bahwa semua manusia mempunyai perasaan yang sama, harga diri yang sama, hak-hak asasi yang sama. Manusia diajarkan untuk saling merasakan apa yang dirasakan orang lain. Yang digugah adalah kejujuran pada hati nurani manusia dalam mengekspresikan rasa yang dalam bahasa wolio disebut namisi. Konsep rasa inilah yang menjadi akar persamaan manusia yang menjadi satu dengan sesamanya, (2) implementasi falsafah bhinci-bhinciki kuli adalah melalui lembaga adat, lembaga pendidikan dan birokrasi, (3) nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam falsafah bhinci-bhinciki kuli yaitu; pomae-maeaka (saling menghormati), popia-piara (saling memelihara), pomaa-maasiaka (saling menyayangi), dan poangka-angkataka (saling menghargai).
Copyrights © 2020